Tuesday, October 31, 2006

Bencana Ekologi dan Hak atas Lingkungan Hidup

Bencana Ekologi dan Hak atas Lingkungan Hidup

Mimin Dwi Hartono

Bencana buatan manusia (man-made disaster) atau bencana ekologi seperti banjir, tanah longsor, dan pencemaran seakan tiada bosan menghantam dan menghajar masyarakat Indonesia pada 2006 ini. Intensitas bencana semakin meningkat, baik dari sisi dampak material maupun korban jiwa, dari bencana di Jember, Banjarnegara, Aceh Tenggara, Papua, Sidoarjo, Sulawesi Selatan, Gorontalo, sampai Kalimantan Selatan. Untuk tipe bencana yang bisa dicegah kejadiannya atau direduksi risikonya, pemerintah punya kewajiban melakukan pengelolaan bencana (disaster management) sehingga dapat menjamin hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.


Dampak lingkungan hidup punya karakteristik berdimensi jangka panjang. Bencana yang muncul sekarang adalah puncak gunung es dari gagalnya pengelolaan lingkungan hidup di Tanah Air yang sudah berlangsung lebih dari 30 tahun. Ancaman yang terpendam atau laten masih sangat besar berpotensi menjadi bencana jika akar permasalahan penyebab bencana tidak diatasi dengan segera dan komprehensif. Upaya menemukan dan mengatasi akar masalah tersebut akan sangat kompleks karena bencana sekarang adalah buah dari proses panjang yang melibatkan pemerintah yang lalu.


Memang perbedaan antara bencana alami dan buatan manusia semakin tipis, seiring dengan meningkatnya populasi penduduk dan pembangunan yang sangat pesat pada beberapa dekade ini. Misalnya bencana gempa bumi di Yogya dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006. Bencana alam tersebut menimbulkan korban jiwa yang sangat besar karena ada faktor kesalahan manusia, yaitu konstruksi bangunan yang tidak tahan gempa dan kurangnya sosialisasi pemerintah tentang kawasan rawan gempa terhadap masyarakat.


Manusia, dengan keangkuhan teknologi dan nafsu ekonominya, telah menghancurkan hutan untuk menjarah kayunya, menambang isi perut bumi tanpa kendali, menjadikan sungai sebagai saluran limbah tailing, merusak daerah aliran sungai untuk membangun permukiman, dan sebagainya. Hal tersebut telah mengakibatkan guncangnya keseimbangan ekologi (ecology disequilibrium), ketika kemampuan dan daya dukung ekologi sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan (baca: keserakahan) manusia, sehingga alam menjadi sangat rentan dan seakan-akan menjadi ancaman bagi manusia.


Ketidakseimbangan ekologi tersebut mulai terjadi pada 1980-an akibat pembangunan propertumbuhan ekonomi yang eksploitatif terhadap sumber daya. Walaupun sempat dijuluki sebagai Macan Asia dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, Indonesia akhirnya kembali terpuruk sejak krisis ekonomi 1998. Pembangunan yang menjadikan ekonomi sebagai panglima telah menempatkan sumber daya alam sebagai "sapi perahan" untuk memasok input pembangunan guna menggerakkan roda-roda pabrik di atas puing-puing kerusakan lingkungan alam.


Perspektif pembangunan ini telah berlangsung selama lebih dari 30 tahun dan harus dibayar mahal oleh generasi saat ini dan mendatang. Pada 2005, setiap menit, hutan alam seluas 60 kali lapangan sepak bola musnah dari bumi Indonesia akibat penebangan kayu, pembakaran hutan, dan alih fungsi hutan, misalnya untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan permukiman. Pada 2000, Bank Dunia memprediksi hutan alam di Pulau Sumatera dan Kalimantan akan punah pada 2010-2015 jika tidak ada tindakan pencegahan dan penanganan pelestarian hutan serta penegakan hukum yang baik.


Untuk itu, bencana ekologi haruslah dilihat sebagai muara dari benang kusut dan karut-marutnya pembangunan yang proekonomi dan menafikan hak asasi manusia. Upaya mengatasi bencana harus dimulai dari hulunya, yaitu dengan menjawab apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana bencana tersebut bisa terjadi. Namun, anehnya, pemerintah dan juga kita seakan tidak pernah mengambil hikmah dari bencana yang terjadi karena setiap bencana yang datang hanya diatasi dengan pola karikatif dan pemberian bantuan tanpa diikuti dengan upaya mengatasi persoalan yang sesungguhnya. Penyebab bencana bisa berupa persoalan struktural, yaitu kebijakan, ataupun kultural, misalnya kemiskinan, ketidakberdayaan masyarakat, dan kesenjangan sosial.


Negara adalah pengemban amanat dalam konstitusi sebagai pihak yang menguasai (baca: mengontrol dan mengatur) kekayaan alam untuk dipergunakan bagi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dan pengaturannya ditentukan oleh pemerintah dengan partisipasi penuh masyarakat. Untuk itu, negara harus berperan secara lebih sinergis dalam memobilisasi sumber daya bangsa untuk tidak lagi bermain-main dan mempermainkan alam, walaupun sudah terlambat. Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ini karena alam mempunyai "ruang" hak asasi untuk mengharmonisasi dan memulihkan dirinya, dan "ruang" ini berada di luar kuasa manusia dan negara.


Sekitar 85 persen wilayah Indonesia adalah kawasan rawan bencana dan hal tersebut bertambah rentan akibat dari bencana buatan manusia. Ancaman dan kerentanan tersebut akan menjadi bencana yang sangat dahsyat dan yang paling banyak menderita karenanya adalah masyarakat miskin, kaum wanita, anak-anak, orang tua, dan penyandang cacat. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi warga negaranya dari segala bencana buatan manusia yang dapat membahayakan hidup dan sumber penghidupannya. Ini adalah amanat konstitusi negara, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, yang dikuatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia.

No comments: