Wednesday, November 01, 2006

Membumikan Hak Masyarakat Adat

Membumikan Hak Masyarakat Adat

Mimin Dwi Hartono

Mungkin tidak banyak yang tahu, termasuk masyarakat adat di Nusantara, yang jumlahnya ribuan kelompok dan populasinya sekitar 60 juta jiwa, bahwa Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Asli (The UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) pada 29 Juni 2006.


Dalam sidang perdana Dewan HAM PBB setelah terbentuk menggantikan Komisi HAM PBB tersebut, sebanyak 30 negara anggota mendukung pengesahan, termasuk Indonesia, 2 negara menolak, dan 12 negara tidak memberikan suara atau abstain. Dewan HAM memutuskan mengadopsi deklarasi tersebut untuk dibawa ke Sidang Umum PBB di markas besar PBB di New York pada September mendatang, setelah mendapatkan rekomendasi dari Ketua Pelapor Kelompok Kerja Komisi HAM PBB yang telah mengelaborasi draf deklarasi tersebut melalui serangkaian konsultasi dengan kalangan masyarakat asli/adat dan masyarakat sipil sedunia selama beberapa tahun terakhir ini.


Setelah menjadi draf selama 20 tahun dan diperjuangkan tiada kenal lelah oleh kalangan pejuang hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia, deklarasi tersebut akan memberikan arah dan harapan perubahan yang lebih baik bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat yang terdiri atas sekitar 374 juta jiwa di seluruh dunia dan telah dimarginalkan dalam kebijakan pembangunan yang top-down dan eksploitatif terhadap sumber daya alam.


Deklarasi tersebut menyebutkan masyarakat adat punya hak untuk menikmati secara penuh, baik secara kolektif maupun individual, segala macam hak asasi dan kebebasan mendasar seperti yang diakui dalam Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, dan perangkat hukum internasional tentang hak asasi manusia. Masyarakat adat dan individu mempunyai kebebasan dan kesetaraan dengan masyarakat dan individu lainnya dan memiliki hak untuk terbebas dari segala macam jenis diskriminasi, punya hak melakukan identifikasi diri, serta memiliki kebebasan untuk meraih pemenuhan hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya dalam kerangka negara tempat mereka bernaung.


Masyarakat adat juga mempunyai hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki, kuasai, atau gunakan dan hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki, kuasai, atau gunakan, atau yang telah diambil alih atau dirusak tanpa setahu mereka. Serta hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang dapat berdampak pada hak mereka, melalui perwakilan yang mereka pilih sesuai dengan prosedur mereka, dan memelihara serta mengembangkan lembaga pengambilan keputusan mereka.


Masyarakat adat merupakan bagian terbesar dari konstituen yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mereka telah ada sebelum terbentuknya NKRI. Mereka mendiami tanah ulayat yang tersebar di pegunungan, hutan rimba, dan kepulauan di Nusantara, yang pada umumnya kaya akan bahan tambang dan sumber daya alam. Mereka mempunyai teritori, sistem pemerintahan, dan hukum sendiri yang masih sangat eksis sampai sekarang untuk mengatur kehidupan komunitas mereka, termasuk dalam membangun hubungan dengan pihak eksternal dan alam sekitarnya.


Momentum pelemahan secara sistematis terhadap hak-hak masyarakat adat di Indonesia terjadi sejak penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, di mana pemerintah melakukan penyeragaman sistem pemerintahan menjadi sistem pemerintahan tunggal berbentuk desa. Akibatnya, sistem pemerintahan adat yang telah ada dan hidup ratusan bahkan ribuan tahun harus mengikuti model desa yang sangat tidak sesuai dengan kultur, sistem pemerintahan, dan kehidupan mereka. Dampak selanjutnya bisa diduga, yaitu terjadi konflik antara negara dan masyarakat adat karena menurut pemerintah yang berlaku hanyalah hukum positif yang dikeluarkan oleh negara walaupun bidang yang diatur tersebut telah menjadi domain masyarakat adat selama ratusan tahun, dalam bidang kehutanan, pertanahan, kearifan tradisional, dan sebagainya.


Momentum yang paling melukai hak-hak masyarakat adat tersebut terjadi selama hampir 30 tahun sampai kemudian muncul Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan ruang bernapas bagi masyarakat adat untuk kembali ke sistem pemerintahannya sendiri dalam kerangka NKRI. Namun, hal tersebut bukan berarti kemudian memecahkan semua masalah yang ada. Walaupun secara normatif negara telah mengakui eksistensi masyarakat adat, kenyataannya hak-hak masyarakat adat masih saja dipinggirkan untuk kepentingan politik dan ekonomi penguasa. Bahkan Undang-Undang Dasar 1945 amendemen keempat menyebutkan negara hanya mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.


Dengan telah disahkannya deklarasi tersebut, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak secara penuh memberikan tempat yang semestinya bagi masyarakat adat untuk berkembang dan meningkatkan taraf hidupnya, baik secara kolektif maupun individu, dalam naungan NKRI. Terlebih Indonesia termasuk negara anggota Dewan HAM PBB yang ikut menyetujui pengesahan deklarasi tersebut.


Deklarasi tersebut membebankan kewajiban bagi negara untuk mendapatkan kesepahaman dan diketahui masyarakat adat sebelum mengadopsi dan mengimplementasikan hukum atau aturan administrasi yang bisa berdampak pada kehidupan masyarakat adat. Juga melakukan penilaian untuk meyakinkan bahwa masyarakat adat anak-anak dan perempuan menikmati perlindungan penuh dan jaminan atas segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, memberikan pengakuan hukum dan perlindungan terhadap tanah ulayat dan sumber daya untuk menghormati kebiasaan, tradisi, dan sistem penguasaan tanah yang sesuai dengan masyarakat adat, melakukan konsultasi secara efektif tentang hal-hal yang terkait dengan masyarakat adat melalui prosedur yang tepat dan melalui lembaga perwakilan, dan melakukan konsultasi dan kerja sama dengan masyarakat adat untuk melakukan penilaian yang tepat, termasuk kinerja legislatif, untuk mencapai tujuan deklarasi.


Walaupun tidak mengikat secara hukum (non-binding), deklarasi tersebut menjadi sangat strategis sebagai landasan normatif, moral, dan semangat (spirit) bagi pemerintah serta kalangan pejuang hak-hak masyarakat adat dalam mempromosikan, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi masyarakat adat, baik dalam ranah hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya.

No comments: