Friday, November 30, 2007

Beautiful New Zealand....



Kecantikan negara di belahan pasifik ini sungguh bukan omong kosong belaka. Tidak salah jika banyak yang memberikan predikat pada negara bekas jajahan Britania Raya ini sebagai salah satu negara tercantik di dunia.


Dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 4 juta jiwa dan luasan daratan (terdiri atas dua pula utama, yaitu Northern dan Southern Island) yang kurang lebih 2 kali besar Pulau Jawa, maka terbentang luaslah permadani hijau di negeri yang mayoritas penduduknya sebagai petani (yang kaya) ini. Bagaimana tidak kaya. Setiap petani bisa memiliki puluhan hektar lahan untuk menggembalakan ternaknya yang jumlahnya mencapai ratusan ekor per petani. Tidak heran jika bentangan perjalanan menuju Auckland (bekas ibukota negara, sekarang menjad pusat bisnis dan ekonomi) dari Wellington, terhampar luas permadani hijau yang menonjolkan otot-ototnya dan terisi oleh jejak kaki jutaan hewan ternak. Kambing, sapi, kuda, alpaca (hewan sejenis dengan kambing asal Peru), dan banteng.


Tidak terbantahkan jika populasi ternak di negara ini berkali-kali lipat dari jumlah manusianya. Hewan ternak telah menjajah manusia, begitu kata teman saya dari Nepal, yang bersama 7 orang teman menikmati perjalanan weekend dari Wellington-Auckland sejauh kurang lebih 600 kilometer dan selama 10 jam perjalanan darat. Bahkan lebih dahsyat lagi apa yang disampaikan teman yang satu lagi dari etnis Aborigin Australia, orang New Zealand sangat menghamba pada keindahan dan kerapihan. Sehingga mereka tidak akan rela jika halamannya kotor atau rumputnya tidak rapi, hingga pekerjaan merapikan rumput menjadi bagian keseharian mereka. Dan memang benar, kerapian bisa ditemukan sepanjang jalan dan pelosok negara ini. Setidaknya dari perjalanan antara dua kota terbesar di New Zealand.


Pun dengan rumah-rumah penduduk, yang sederhana. Terbangun dari kaya papan yang ulet, rumah di negara ini menjadi daya tarik tersendiri. Karena masuk dalam plat gempa utama di ring Pasifik, penduduk memutuskan untuk membangun rumahnya dari kayu papan. Terlepas dari latar belakang di daerah gempa utama, bangunan-bangunan kayu itu tersebut mensuratkan sebuah kehidupan yang sederhana di negara yang masuk dalam kategori maju ini.


Oh ya, jangan lupa bahwa di negara ini masyarakat aslinya, yaitu Maori, sangat diakui dan dihormati. Melalui Kesepakatan Waitangi (Waitangi Treaty) pada tahun 1840 antara Ratu Inggris dengan pemimpin suku Maori, terbangun kesepakatan akan saling menghargai dan melindungi hak-hak masyarakat asli New Zealand. Piagam ini masih sangat aktual dan relevan sampai sekarang, walaupun dari pengamatan saya masyarakat Maori tetap menjadi kaum yang terpinggirkan. Mereka mendapatkan pekerjaan yang berada di pinggiran, sebagai sopir bus, sopir taksi, sopir truk pengangkut sampah, dan seterusnya.


Dan jangan lupa bahwa gadis-gadis disini begitu aduhai, cantik memesona, ramah, dan bersahaja. Tidak lelah mata memandang dan mengaguminya. Maka lengkaplah kecantikan negara ini, alamnya, dan juga manusianya.....

(to be continued)


Monday, November 12, 2007

Sang Garuda Merapi

Kucari kau
Tapi susah ditemui
Lantas
Kemunculanmu yang tiba-tiba

Kau tunjukkan sosokmu
Sang penjaga Merapi

Membuncah hati ini
Kau penuhi dahaga kami

Walau hanya 3 hari
Kau bersama kami

Kami lihat
Kami saksikan
Jambulmu itu
Cakarmu itu
Kepakan sayapmu itu
Kegagahanmu itu

10 Nopember 2007
Kau tinggalkan kami

Kau datang secara misterius
Pergi dengan misterius

Maafkan sikap kami
Ketidaktahuan kami
Perlakuan kami

Itu karena kami gembira
Senang...
Bangga.....
Ternyata kau ada

Ternyata ada dan tiada
Tipis sekali bedanya

Mereka kabarkan
Kau telah terbang
Mengepakkan sayap
Bukan kembali ke alam Merapi
Tapi menuju ke alam baka

Kapan lagi kami bisa bertemu
Dengan bangsamu yang kian langka itu

Ya Allah...
Pelajaranmu begitu penting

Kau kirimkan sang garuda untuk kami
Lantas Kau ambil kembali

10 Nopember
Pahlawan Merapi telah pergi

Si ELJA, Elang Jawa

Monday, March 26, 2007

Lumpur Lapindo Menyembur Semakin Jauh

Mimin Dwi Hartono (Peneliti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia)

Tragedi lumpur Lapindo, yang telah merenggut hak hidup dan penghidupan yang bermartabat bagi puluhan ribu warga Sidoarjo, menyembur semakin jauh. Rentetan bencana yang silih berganti di Tanah Air telah memecah konsentrasi publik atas tragedi lumpur, yang kabarnya terbesar di dunia itu. Sampai kemudian pada 3 Maret kembali diberitakan seorang pekerja tewas akibat truknya terguling di dekat pusat semburan lumpur. Korban terakhir semakin menambah jumlah manusia yang kehilangan hak hidup, terenggut masa depannya, seiring dengan tenggelamnya rumah dan pengharapan masyarakat. Sementara itu, masa kerja Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo (selanjutnya ditulis Tim Lama), yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006, akan segera berakhir pada 7 Maret 2007.


Menurut perkiraan para ahli yang tergabung dalam Ikatan Ahli Geologi Indonesia, lumpur masih akan menyembur selama 31 tahun. Bagaimana dengan wajah Sidoarjo dan Jawa Timur nantinya jika benar bahwa lumpur baru akan berhenti 31 tahun kemudian? Usaha menutup semburan lumpur dengan relief well telah gagal. Upaya mengurangi semburan lumpur dengan bola beton pun sangat kecil kemungkinannya berhasil.


Publik menilai bahwa pemerintah, yang diwakili oleh Tim Lama, kurang maksimal dalam memobilisasi sumber daya untuk menutup semburan lumpur. Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah adalah melakukan segala upaya, baik melalui kebijakan, anggaran, legislasi, maupun kerja sama internasional, untuk melindungi hak asasi manusia. Hal ini ditegaskan dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang telah diratifikasi pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 11/2005 pada Pasal 2 angka 1: "Setiap negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik secara individual maupun melalui bantuan dan kerja sama internasional, khususnya di bidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini dengan cara-cara yang sesuai, termasuk dengan pengambilan langkah-langkah legislatif". Tidak ada alasan untuk tidak melakukannya secara maksimal, karena taruhannya adalah hak untuk hidup dan hak atas sumber penghidupan masyarakat.


Tim baru harus segera dibentuk dan ditetapkan untuk menyusun langkah penanganan lumpur dan dampaknya secara terintegrasi. Ini bukan berarti bahwa pemerintah akan mengambil alih tanggung jawab dari Lapindo Brantas Incorporated, melainkan sebagai perwujudan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Tim baru ini tidak lagi bersifat ad hoc, tapi permanen, multi years, dan langsung bertanggung jawab kepada presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Substansi rencana aksi tersebut setidaknya berisi tiga hal yang terintegrasi, yaitu aspek teknis/teknologi, sosial-ekonomi-lingkungan, dan penegakan hukum serta hak asasi manusia.


Dari aspek teknis, upaya menghentikan semburan lumpur harus terus dilakukan dengan berbagai cara. Keberhasilan aspek ini sangat penting dan harus diprioritaskan karena akan mempengaruhi penanganan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Semakin rendah tingkat keberhasilan aspek teknis, akan semakin besar dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang harus ditanggung. Tim baru nantinya sebaiknya meminta bantuan pendampingan teknis secara internasional untuk menghentikan semburan lumpur. Aspek ini akan menjadi penilaian utama dari masyarakat dan dunia internasional sejauh mana totalitas pemerintah sebagai bagian dari process of conduct melindungi hak asasi warganya.


Kemudian aspek sosial ekonomi di antaranya berisi tentang mekanisme ganti untung bagi warga yang terkena dampak lumpur, relokasi aset-aset strategis milik negara, dan kompensasi bagi korban, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan pangan. Selain itu, penanganan dampak terhadap lingkungan yang bersifat lintas batas (transboundary affect), semakin menyebar, dan rawan memunculkan konflik horizontal antarmasyarakat ataupun vertikal. Membangun komunikasi antarmasyarakat menjadi sangat penting untuk membangun kebersamaan dan solidaritas sosial.


Terkait dengan komitmen pendanaan penanganan lumpur, hal ini tidak bisa hanya berdasarkan keputusan terdahulu, khususnya hanya mencakup empat desa yang ditetapkan pada 4 Desember 2006. Pemerintah harus merevisi keputusan terdahulu dan meminta pemilik Lapindo Brantas Inc. menegaskan komitmen pendanaan dalam bentuk tertulis, legalized, dan mengikat sampai persoalan penanganan lumpur ini terselesaikan. Hal ini dilakukan karena lumpur dipastikan akan meluber ke mana-mana dan semakin banyak rumah serta desa yang tenggelam. Jelas tidak adil jika Lapindo Brantas Inc. hanya bersedia membiayai empat desa yang terdahulu berdasarkan keputusan normatif dalam perjanjian, padahal secara faktual dan materiil lumpur telah menyebar ke wilayah lain.


Aspek lain adalah penegakan hukum yang harus terus dijalankan secara konsisten dan tegas. Kuat dugaan bahwa semburan lumpur akibat kelalaian perusahaan sehingga dikategorikan sebagai kejahatan korporasi (corporate crime). Hal ini menjadi tugas penyelidik/penyidik yang menjadi bagian dari tim baru untuk segera membuktikannya. Sampai saat ini, terlihat ada upaya mengambangkan penanganan hukum dan melepaskan tanggung jawab hukum para pemilik kepada para pelaksana lapangan. Berdasarkan prinsip piercing the corporate veil yang menjadi asas dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, pemilik mayoritas Lapindo Brantas Inc. harus bertanggung jawab tidak terbatas jika dugaan kuat bahwa kasus ini akibat kelalaian operasi perusahaan terbukti.


Berjalannya ketiga aspek di atas harus disertai dengan kondisi yang kondusif, yaitu menghilangkan konflik kepentingan yang akan mempengaruhinya. Hal ini harus segera diatasi oleh Presiden, sehingga supremasi hukum dan penegakan hak asasi manusia dapat diwujudkan untuk memenuhi asas keadilan yang menjadi hak masyarakat. Pembentukan tim baru dengan cakupan tugas seperti di atas serta dengan kewenangan yang lebih luas, kuat, dan independen dapat menjadi ukuran bagi publik sekaligus harapan baru bagi para korban apakah Presiden mempunyai komitmen dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia ataukah tidak.

(Koran Tempo, 6 Maret 20070

Hak Asasi Manusia Atas Air

Mimin Dwi Hartono, peneliti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Tak terbantahkan bahwa air adalah komponen paling mendasar dan esensial bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Tanpa air, manusia tidak akan bisa bertahan hidup dalam hitungan hari, sehingga air menjadi modal paling utama untuk menjamin dan melindungi hak untuk hidup serta untuk memenuhi hak asasi manusia yang lain. Tanpa air yang layak, bersih, dan menyehatkan, manusia tidak akan bisa mencapai tahap kesejahteraan hidup yang layak untuk tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi dan menikmati hasil pembangunan secara tenang.


Sebagai komoditas yang esensial dan menyangkut hajat hidup manusia keseluruhan, pemerintah punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin agar air tersedia dalam jumlah dan kualitas yang baik dan dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi. Lantas bagaimana dengan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia atas air, terkait dengan momentum Hari Air Internasional pada 22 Maret?


Meskipun sebagian besar permukaan bumi terdiri atas air, hanya satu persennya yang layak dikonsumsi. Sembilan puluh sembilan persen yang lain berupa air asin dan es di kutub, yang tidak layak dikonsumsi. Ketersediaan air yang sangat terbatas tersebut semakin tidak bisa memenuhi kebutuhan manusia yang jumlahnya semakin besar. Walaupun berbagai macam teknologi pemanfaatan air telah ditemukan, tidak mampu menahan laju pertambahan penduduk yang tak terkendali. Dalam kurun waktu 50 tahun, populasi dunia meningkat hampir 60 persen, dari 2,5 miliar jiwa pada 1950 menjadi sekitar 6 miliar jiwa pada 2005.


Manusia yang semakin bertambah menimbulkan konsekuensi semakin besarnya tingkat kebutuhan akan air yang bersih dan menyehatkan untuk hidup dan aktivitas kehidupan lainnya. Dan pada saat yang sama, kualitas air yang bersih dan menyehatkan semakin terbatas dan langka akibat tercemarnya air oleh aktivitas industri, kegiatan pertambangan, kegiatan rumah tangga, dan perilaku individu yang tidak bertanggung jawab. Terjadi ketimpangan antara kebutuhan air dan ketersediaan air dalam jumlah dan kualitas yang memadai sehingga menimbulkan kompetisi perebutan sumber daya air, yang mencuatkan konflik dan kekerasan. Di sisi lain, ketimpangan ini dilihat sebagai peluang bisnis oleh sebagian pihak yang kemudian mengarah pada privatisasi air atau komersialisasi air.


Privatisasi air menjadi ancaman serius. Air ditempatkan sebagai komoditas, sehingga makin menjauhkan fungsi esensial air sebagai komoditas publik. Dengan privatisasi, hanya mereka yang berkemampuan ekonomi yang bisa mengakses air. Privatisasi yang hanya bertujuan mencari profit bukan menjadi solusi bagi kelangkaan air, melainkan menjadi masalah baru dan menjerumuskan negara dalam jebakan utang yang semakin dalam. Contohnya Perusahaan Air Minum Jaya di Jakarta, yang terjebak utang luar negeri Rp 1,6 triliun, dan perusahaan daerah air minum di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yang juga terjerat Rp 10 miliar. Utang ini menjadi justifikasi bagi masuknya korporasi asing untuk menguasai distribusi air yang berorientasi pada profit dengan cara menaikkan harga air.


Air sebagai bagian dari hak mendasar (fundamental right) semakin digeser fungsinya menjadi komoditas bisnis dan politik sehingga mengancam pemenuhan hak asasi manusia bagi 1,1 miliar jiwa manusia di dunia yang belum bisa mengakses air bersih dan 2,4 miliar jiwa lainnya yang tidak punya fasilitas sanitasi memadai, yang sebagian besar hidup di Benua Afrika dan Asia.


Hal ini diperparah oleh manajemen air di dunia yang sangat buruk sehingga mengakibatkan tidak efisiennya distribusi air berupa kebocoran air yang sangat besar. Di Asia, tingkat kebocoran air mencapai 42 persen, di Afrika 39 persen, di Amerika Latin 42 persen, dan di Amerika Utara 15 persen. Kebocoran air ini diduga dilakukan secara sengaja guna dijual secara ilegal untuk kepentingan memperkaya diri para pejabat yang bertanggung jawab dalam penyediaan air bersih.


Kesenjangan kemampuan ekonomi antara negara-negara Barat dan Timur juga menimbulkan ketidakadilan atas akses air yang sangat serius. Di Amerika Serikat setiap orang mengkonsumsi 158 galon air setiap hari, sedangkan di Senegal hanya 7,6 galon per orang. Artinya, konsumsi air untuk satu orang di Amerika bisa untuk delapan orang di Senegal. Pola konsumsi yang boros dan tidak fair ini pada akhirnya akan menjerumuskan pada ketidakadilan yang lain, karena perilaku sebagian kecil manusia yang boros akan sumber daya air akan ditanggung oleh sebagian besar umat manusia lainnya.


Akibatnya, penyakit yang muncul sebagai akibat kekurangan air (water shortage) dan ketidakadilan atas akses terhadap air pun semakin bertambah dan menelan korban jiwa yang semakin meningkat. Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 80 persen penyakit di dunia (kolera, disentri, hepatitis) adalah akibat manusia mengonsumsi air yang tidak memenuhi standar kesehatan. Industrialisasi yang dipusatkan di perkotaan telah menciptakan permukiman kumuh yang sangat sulit dijangkau jaringan air bersih dan menyebabkan semakin akutnya tingkat pencemaran air. Tingkat pencemaran air di kota-kota di Asia sangat tinggi karena 90 persen limbah air langsung dibuang ke sungai tanpa proses pengolahan.


Dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, hak atas air diakomodasi dalam artikel 24: "Negara wajib melakukan tindakan untuk memerangi penyakit dan kekurangan gizi pada anak melalui penyediaan nutrisi yang berkecukupan dan air minum yang bersih, dan juga memperhatikan bahaya dan risiko dari polusi lingkungan." Kemudian Deklarasi Milenium, yang mencetuskan proyek Millennium Development Goals, yang merupakan komitmen para kepala negara/pemerintahan anggota PBB untuk memerangi kemiskinan global sampai tahun 2000-2015, menyerukan kepada pemerintah agar "menyediakan akses air bersih dan sanitasi yang memadai bagi masyarakat yang saat ini belum bisa menikmatinya".


Meskipun demikian, belum ada payung hukum, kebijakan, dan implementasi program yang konkret dari pemerintah Indonesia untuk menjamin ketersediaan air sebagai bagian dari hak asasi manusia. Yang terjadi sebaliknya, disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang melegalisasi tumbuh suburnya bisnis air, sehingga bertentangan dengan berbagai kovenan, konvensi, ataupun komitmen internasional hak asasi manusia yang menjamin air sebagai hak asasi manusia. Maka, yang dibutuhkan sekarang adalah kebijakan "air bagi semua" (water for all). Tanpa itu, air hanya akan jadi komoditas bisnis dan politik yang tiada akhir, dikuasai oleh sebagian kecil orang dengan jalan mencelakai lebih dari 100 juta jiwa di Indonesia dan 3 miliar jiwa di dunia yang belum bisa menikmati air sebagai bagian dari pemenuhan hak asasinya.

(Koran Tempo, 24 Maret 2007)

Friday, February 16, 2007

SOLUSI BANJIR SECARA EKOLOGIS DAN HUMANIS

Oleh: Mimin Dwi Hartono

Dampak banjir yang menenggelamkan sebagian besar wilayah Jakarta kali ini, sungguh dahsyat. Tercatat lebih dari 40 orang tewas, sekitar 400 ribu orang, kaya dan miskin, mengungsi. Infrastruktur publik rusak parah, moda transportasi terhenti, dan kerugian ekonomi mencapai hampir Rp 4 triliun. Daya dukung ekologi yang semakin turun, ketidaktahuan masyarakat tentang antisipasi bencana banjir, kapasitas pemerintah yang lemah, menyebabkan dampak banjir menjadi sedemikian parah.

Banjir telah menyebabkan hak-hak fundamental warga tercerabut, yaitu hak atas kesehatan, pangan, papan, pendidikan, air bersih, dan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Masyarakat yang miskin bertambah miskin, bahkan banyak yang kembali ke titik nol, karena semua propertinya hancur. Aset pembangunan yang dibangun dan dipelihara selama sekian tahun, rusak. Roda bisnis dan pemerintahan, terhenti untuk beberapa hari.

Persoalan banjir di Jakarta adalah kejadian klasik yang terus berulang, namun selalu dipandang tidak serius dan ditangani secara parsial oleh pemerintah. Pemerintah masih gagap dan tidak mempunyai pola pencegahan dan mitigasi bencana banjir yang mumpuni. Padahal bencana semakin sering terjadi di Tanah Air dan semestinya pemerintah belajar dari pengalaman yang telah lalu. Terlebih banjir adalah kategori bencana yang didominasi oleh faktor kelalaian dan kesalahan manusia, sehingga semestinya bisa diminimalkan dampaknya.

Lebih aneh lagi, banjir itu terjadi di ibukota negara, di mana presiden, wakil presiden, para menteri, anggota parlemen, pejabat negara, dan pebisnis beraset ratusan miliar rupiah, berkantor. Di sini pula sebagian besar sumber daya ekonomi, politik, serta alat pertahanan dan keamanan tersedia. Semestinya dengan sumber daya tersebut, pemerintah DKI Jakarta dan pusat tidak mengalami kesulitan dalam memobilisiasinya untuk menangani banjir guna meminimalisasi dampak bagi manusia. Namun publik bisa mengetahui bahwa korban banjir tidak tertangani dengan baik dan layak. Bahkan korban jiwa dan material tahun ini lebih besar dari banjir besar 2002.

Pendekatan ekologis
Persoalan banjir di Jakarta tidak bisa ditangani secara sepihak dan parsial, namun harus dengan pendekatan sistem ekologis (ekosistem) dan humanis. Pendekatan itu bisa teraplikasi dengan membangun kesepahaman dan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah daerah hulu (Bogor-Puncak-Cianjur/Bopuncur) dan hilir (Jakarta).

Pendekatan ekosistem berarti melihat sebab dan akibat banjir dalam satu kesatuan ruang ekologi dengan menghilangkan sekat administrasi, politik, sosial, dan ekonomi. Ekosistem Jakarta adalah satu ruang dengan ekosistem Bopuncur, sehingga saling bergantung dan memengaruhi. Penataan ruang di hilir tidak akan bisa cukup menyelesaikan masalah jika tidak disertai dengan penatan ruang di kawasan hulu.

Persoalan kerusakan lingkungan di hulu adalah akibat dari tuntutan ekonomi yang dilegitimasi oleh keputusan politik untuk menambah pundi-pundi pendapatan asli daerah. Laju konversi lahan hijau di kawasan hulu menjadi kawasan perumahan mencapai sekitar 10 ribu hektare setiap tahun. Era otonomi mendorong semua pemerintahan di daerah untuk berlomba-lomba mengenjot pendapatan setinggi mungkin dengan mengabaikan keseimbangan ekologi. Padahal daerah hulu mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting. Wacana untuk menerapkan kebijakan insentif-disinsentif dan kompensasi dari daerah hilir ke daerah hulu menjadi sangat relevan untuk segera diterapkan.

Kebijakan insentif bertujuan untuk merangsang pihak tertentu untuk melakukan sesuatu yang diinginkan dan disinsentif adalah kebalikannya, yaitu menjauhkan perilaku yang tidak diinginkan. Insentif dapat berupa reward untuk pihak yang menjalankan kegiatan pelestarian lingkungan. Disinsentif dapat berupa denda, sanksi, maupun hukuman yang bisa menimbulkan efek jera bagi perusak lingkungan. Sedangkan kompensasi adalah besaran moneter maupun non-moneter yang diberikan pada pihak yang telah melestarikan lingkungan sehingga memberikan dampak positif bagi sebagian besar masyarakat.

Jika daerah hulu bersedia atau diharuskan untuk mengalokasikan sekian persen daerahnya sebagai wilayah ekologis, yang berarti akan mengontrol secara ketat pembangunan ekonominya sehingga berdampak pada pendapatan, daerah hilir mesti memberikan insentif dan kompensasi yang layak. Insentif dan kompensasi ini harus setara dengan pengorbanan ekonomi dan sosial yang telah dilakukan oleh daerah hulu dan cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum bagi masyarakatnya. Sedangkan disinsentif diterapkan bagi daerah hulu maupun hilir yang tidak mengindahkan kebijakan untuk melestarikan lingkungan.

Pendekatan humanis
Pendekatan ekosistem harus paralel dengan pendekatan humanis. Kebijakan insentif dan kompensasi adalah juga salah satu manifestasi dari pendekatan yang humanis. Bahwa masyarakat yang hidup di kawasan hulu mempunyai hak yang sama untuk hidup secara sejahtera dan berkecukupan, seperti mereka yang hidup di hilir. Insentif dan kompensasi adalah upaya untuk membuat kesejahteraan masyarakat di hulu meningkat dengan tidak melihat upaya melestarikan lingkungan sebagai sebuah paksaan.

Isu lain, masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dianggap sebagai salah satu penyebab meluapnya air, karena terjadi penyempitan alur sungai. Mereka yang tinggal di bantaran bukanlah sebuah pilihan, namun karena kemiskinan. Relokasi mereka dari bantaran sungai harus diikuti dengan pemberikan alternatif permukiman yang permanen, murah, dan sehat. Hal ini juga terkait dengan isu ketidakadilan, di mana mereka yang kaya dapat dengan mudah menguasai tanah dan mengubah tata ruang, sedangkan yang miskin selalu disalahkan oleh pemerintah.

Pendekatan humanis juga akan mendorong partisipasi publik dalam kebijakan penanganan banjir, karena banjir tidak mengenal strata sosial, ekonomi, dan politik. Kejadian banjir kali ini menegaskan bahwa semua kalangan menjadikan banjir sebagai ancaman bersama dan melestarikan lingkungan adalah sebuah tuntutan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Sunday, January 21, 2007

Reposisi Komnas HAM

Oleh: Mimin Dwi Hartono

Terlahir dalam suasana otoritarianisme negara serta di tengah cibiran dan pesimisme publik pada tahun 1993, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berhasil membuktikan diri sebagai institusi penegak HAM yang disegani. Pesimisme publik telah dijawab para anggota Komnas HAM pada kala itu dengan tindakan kongkrit mengusut beberapa kasus pelanggaran HAM yang berat. Namun reputasi dan kinerja Komnas HAM pascareformasi periode 1998-2001, yang berkiprah dengan dasar yuridis dan politis yang lebih kuat serta demokratis, justru mengalami kemerosotan yang mengkhawatirkan.
Demikian intisari buku hasil penelitian yang berjudul “Komnas HAM 1998-2001: Pergulatan dalam Transisi Politik” karya Cornelis Lay dan kawan-kawan. Lebih lanjut sampai sekarang, berbagai isu strategis dan kasus-kasus yang diduga mengandung unsur pelanggaran HAM yang berat tidak mampu direspon dan ditangani secara maksimal. Komnas HAM terjebak dalam birokrasi sehingga kehilangan momentum yang semestinya menjadi mandat untuk menunjukkan eksistensinya.
Padahal Komnas HAM mempunyai peran dan kewenangan yang strategis karena menjadi satu-satunya lembaga independen yang berwenang melakukan penyelidikan projustisia pada pelanggaran HAM yang berat, yang diamanatkan dalam Undang-Undang No.26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Walaupun wewenang tersebut hanya sampai pada tingkat penyelidikan. Sedangkan eksistensi yuridis dan legitimasi politis Komnas HAM dijamin oleh Undang-Undang No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada awal mulanya, Komnas HAM didirikan hanya berdasar pada Keputusan Presiden Nomor 50/1993.
Tulisan ini tidak akan mengulangi ironi Komnas HAM seperti disampaikan dalam buku tersebut maupun sumber-sumber lainnya, namun untuk menyambut reposisi Komnas HAM ke depan, pada era dan isu HAM yang sudah berubah. Terlebih adanya harapan perbaikan terkait dengan pemilihan anggota baru Komnas HAM untuk periode 2007-2012.
Pada masa sebelum reformasi, negara menjadi sasaran tembak utama sebagai pelaku pelanggaran HAM, termasuk yang masuk kategori sebagai pelanggaran HAM yang berat, khususnya terhadap hak sipil dan politik. Kala itu negara menjadi satu-satunya kekuatan sangat besar yang mendayagunakan sumberdayanya, baik birokrasi, politik, dan militer untuk melayani kepentingan elit penguasa. Kontrol dari luar nyaris tidak mendapatkan ruang yang memadai, bahkan direpresi dengan kekuatan keamanan dan militer. Kebebasan sipil (civil liberties) mendapatkan tekanan dan kungkungan dari negara sehingga kekuatan masyarakat sipil tidak berkembang. Kekuatan sipil baru menemukan momentumnya untuk meruntuhkan dominasi negara pada 1998, seiring dengan krisis moneter yang melanda kawasan Asia, termasuk Indonesia. Secara jujur, kekuatan ekonomi global memainkan peranan dalam proses menuju era reformasi.
Pasca 1998, era telah berubah secara signifikan, yang ditandai dengan kebebasan sipil dan politik yang sangat maju, misalnya kebebasan membentuk partai politik, amandemen konsitusi, pemilihan presiden secara langsung, dan sebagainya. Desentralisasi memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya dan menuntut hak atas pembangunan daerah dari pusat. Di sisi lain, kekuatan politik semakin terfragmentasi dan terdistribusi secara tidak sehat. Kekuatan dan organisasi negara pun tidak lagi solid, bahkan terjebak dalam konflik yang berkepanjangan.
Di sisi lain, perekonomian dikelola secara lebih liberal, sebagai konsekwensi masuknya International Monetary Fund pada tahun 1998 atas undangan pemerintahan Soeharto yang dibuat pusing oleh krisis moneter kala itu. Program penyesuaian struktural yang sarat kepentingan perusahaan multinasional asing pun diperkenalkan sehingga merubah haluan, strategi, dan pola pembangunan ekonomi menjadi sangat liberal dan kapitalis. Posisi negara yang lemah akibat fragmentasi kekuatan politik menjadi semakin lemah oleh dominannya aktor-aktor dan kekuatan ekonomi multinasional yang masuk memengaruhi ke dalam relung organisasi negara, baik dalam ranah eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Fungsi pokok negara, khususnya pemerintah, untuk melayani dan mensejahterakan masyarakat menjadi terbengkalai.
Pola dan karakteristik pelanggaran HAM pun juga berubah, bukan lagi didominasi oleh pelanggaran hak sipil dan politik, namun pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya (hak ekosob) serta hak kolektif, yaitu hak atas pembangunan, perdamaian, dan lingkungan hidup. Kasus busung lapar, penggusuran, kemiskinan, kesehatan yang memburuk, konflik berdarah antaretnis/suku, pendidikan yang sangat mahal, bencana lingkungan oleh rusaknya hutan, luapan lumpur Lapindo, adalah contoh kasus pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya dan hak kolektif yang sangat kasat mata, dan berpotensi mengandung unsur sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Jenis dan pola pelanggaran hak ekosob dan hak kolektif sejenis menjadi dominan pasca reformasi, sekarang, dan masa mendatang. Sebagai institusi strategis dan mendapatkan legitimasi dari negara untuk menegakkan HAM, Komnas HAM dituntut menjadi leading agency untuk menjawab perubahan jenis dan pola pelanggaran HAM tersebut. Komnas HAM yang akan segera dinahkodai para anggota yang baru akan menentukan masa depan Komnas HAM dalam menjawab tantangan perubahan jaman dan menghapus sinisme publik yang semakin meluas. Untuk itu, Komnas HAM dituntut untuk mereposisi peran dan strateginya, baik secara internal maupun eksternal.
Aliansi strategis dengan civil society harus dibangun kembali, sebagai energi kolektif yang selama ini dikatakan oleh banyak pihak telah hilang. Penyamaan persepsi dengan lembaga negara penegak HAM lain juga musti dilakukan karena era sudah berubah. Komnas HAM dituntut untuk membuka diri, inklusif dan partisipatif dalam menjalankan mandatnya. Dalam hal ini menggalang opini publik menjadi faktor yang sangat penting untuk menambah amunisi gerakan HAM yang demokratis dan partisipatif.
Amandemen terhadap UU No.39/1999 dan UU No.26/2000 menjadi sebuah kebutuhan dan tuntutan yang tidak bisa tidak harus dilakukan. Presiden dan parlemen seyogianya memberikan prioritas terhadap hal ini sebagai wujud keberpihakan politik HAM yang hingga sekarang masih berwajah ganda. Terlebih dengan komitmen Indonesia sebagai salah satu anggota Dewan HAM yang mestinya memberikan contoh terbaik penegakan HAM. Amandemen akan memberikan posisi politis dan kewenangan yuridis yang lebih besar bagi Komnas HAM dalam menjalankan fungsi penegakan HAM secara lebih terintegrasi, terpadu, dan terlepas dari jeratan birokrasi negara.