Monday, October 30, 2006

Merapi dan Kovenan Hak Ekosob

MERAPI, PASCARATIFIKASI KOVENAN HAK EKOSOB

Oleh Mimin Dwi Hartono

Bulan September 2005, Indonesia telah secara resmi meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya atau Kovenan Hak Ekosob Perserikatan Bangsa-Bangsa, setelah sekian tahun kalangan organisasi non-pemerintah mendesakkan hal tersebut.

Lantas, bagaimana implementasi dari kovenan tersebut untuk melindungi Hak Ekosob sekitar masyarakat Merapi pascapenunjukan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)? Dengan telah meratifikasi Kovenan Hak Ekosob, pemerintah telah mengakui dan harus patuh untuk melaksanakan isi kovenan tersebut, karena telah mengikat secara hukum internasional. Apabila pemerintah lalai atau tidak konsisten menjalankan isi dari kovenan tersebut, maka PBB, baik dengan inisiatif sendiri berdasarkan investigasi lapangan maupun berdasarkan laporan dari masyarakat, mempunyai hak untuk memperingatkan dan menjatuhkan sanksi bagi pemerintah.

Prinsip dan substansi Kovenan Hak Ekosob adalah mewajibkan negara untuk secara aktif dan bertanggung jawab memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negaranya.

Pemenuhan hak tersebut salah satunya adalah kewajiban bagi negara untuk melindungi dan menjamin hak masyarakat lokal atas akses, kontrol, dan pengelolaan aset-aset penghidupan secara lestari dan berkelanjutan. Dalam konteks kasus TNGM, menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk melindungi dan menjamin hak masyarakat lokal dalam mengakses, mengontrol, dan mengelola sumber daya alam kawasan Gunung Merapi.

Hak Ekosob yang semestinya dilindungi dan dijamin oleh pemerintah untuk masyarakat lokal Merapi adalah hak untuk mengelola sumber daya alam di hutan, baik berupa kayu maupun nonkayu, hak untuk memanfaatkan hasil hutan yang langsung, misalnya adalah merumput, memanfaatkan tanaman obat, dan ranting kayu bakar, maupun yang tidak langsung, misalnya akses atas air untuk kebutuhan keseharian dan menjaga hutan sebagai pencegah longsor serta banjir yang jika lalai dijaga akan membahayakan penghidupan masyarakat.

Namun, proyek TNGM telah menjadi ancaman nyata bagi pemenuhan Hak Ekosob untuk masyarakat lokal Merapi. Telah beredarnya peta zonasi yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan pada Agustus 2005, yang secara jelas Hak Ekosob masyarakat lokal dipangkas habis. Masyarakat hanya diberikan hak akses sejauh 100 meter dari batas luar hutan, untuk merumput, mengambil tanaman obat, maupun ranting kayu bakar di hutan.

Masyarakat juga dilarang untuk memanfaatkan pasir dari alam, namun pengusaha besar diberikan zona penambangan tersendiri. Makam Syeh Jumadil Qubro di puncak Gunung Turgo, yang pada malam-malam tertentu dikunjungi ratusan peziarah juga akan terlarang untuk dimasuki, karena masuk dalam zona inti.

Namun di sisi lain, aktivitas penambangan pasir untuk perusahaan besar terus dibiarkan dan diberikan zona tersendiri yang sangat luas di kawasan Magelang.

Sebelum menjadi taman nasional, nilai dan fungsi kawasan Gunung Merapi lebih banyak mendukung mata pencaharian dan penghidupan keseharian masyarakat lokal, yang disebut dengan nilai guna konsumsi langsung, atau dalam bahasa sederhana disebut hak akses dan kontrol masyarakat atas kawasan.

Secara jelas, bertahap, dan pasti, akan terjadi penggeseran penguasaan aset-aset penghidupan dari yang berbasis komunitas dan penguasaan yang terdistribusi ke penguasaan yang berbasis pada sumber daya kapital dan politik yang tersentralisasi. Peran-peran masyarakat lokal akan semakin termarjinalkan, dimulai dengan dibatasinya hak akses dan kontrol atas hutan Merapi sampai kemudian akan tergusur secara ekonomi karena tidak akan mampu bersaing dengan kekuatan modal dan politik sehingga menjadi penonton di tanah sendiri, misalnya dengan menjadi pekerja pariwisata maupun buruh tani.

Pada era Millenium ini, desakan dari kekuatan pemodal nasional maupun internasional atas kawasan-kawasan yang kaya akan aset-aset penghidupan, seperti halnya kawasan Gunung Merapi, akan semakin kuat dan ganas. Setelah hutan di Indonesia habis kayunya karena dijarah oleh bisnis mafia penebangan dan perdagangan kayu nasional maupun internasional, kekuatan kapital internasional berkongsi dengan aktor politik lokal-nasional mencari lahan baru yang bisa dieksploitasi dari hutan.

Caranya adalah dengan mengonsesikan hutan untuk perdagangan karbon, bisnis air, dan pembangunan bisnis pariwisata skala besar berupa pembangunan resort dengan segala fasilitasnya yang padat modal. Salah satu cara untuk mencapai tujuan para penyembah uang tersebut adalah dengan membuat taman nasional.

Apa yang disampaikan diatas bukan khayalan atau fobia. Namun, secara empiris dan riil sudah banyak terjadi di taman nasional di seantero Indonesia. Taman nasional datang: kayu habis ditebang, tanaman obat berkhasiat dipatenkan, fauna endemik punah, masyarakat semakin miskin, dan kejadian buruk lainnya. Tentu saja kejadiannya tidak akan serta-merta, tetapi akan terjadi dalam rentang waktu yang beragam, antara 5-10 tahun kemudian, setelah ada taman nasional.

Pendukung baru

Dengan telah diratifikasinya kovenan tersebut, masyarakat lokal Merapi mempunyai kekuatan pendukung baru untuk melindungi hak- hak mereka, sehingga nasib buruk yang menimpa masyarakat lokal korban taman nasional tidak terjadi pada mereka. Hal ini karena sejak 2004, masyarakat sepertinya sudah kehilangan asa pada pemerintah, yang seakan tidak peduli bahkan meremehkan hak masyarakat Merapi.

Namun, masyarakat lokal masih sangat berharap pada pemerintah, yang presiden dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat, untuk menjadi pembela hak-hak mereka dari sergapan dan keserakahan agen- agen globalisasi yang tidak mengenal belas kasihan. Apabila harapan pada pemerintah pun kandas, toh masyarakat bisa meminta bantuan PBB untuk melindungi hak-hak mereka atas kawasan Gunung Merapi.

Itulah salah satu manfaat kovenan, pembelaan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat lokal tidak lagi hanya menjadi domain pemerintah saja, namun sudah menjadi domain komunitas internasional yang diwakili oleh PBB.

(Kompas, 13 Februari 2006)

No comments: