Monday, October 30, 2006

Wajah Ganda Gunung Merapi

Wajah Ganda Gunung Merapi

Oleh Mimin Dwi Hartono

Wajah Gunung Merapi memang sangat indah dan menawan untuk dipandang, gagah sekaligus anggun memesona. Gemericik air, hutan yang lebat, tanah yang subur, dan alam yang indah telah menghidupi puluhan ribu masyarakat yang ada di kakinya. Namun, juga kadang kala garang menantang dan terkesan mengancam kehidupan masyarakat.

Wajah kedua itulah yang saat ini diperlihatkan oleh Merapi kepada masyarakat sejak kenaikan status menjadi "Siaga" awal April 2006.

Upaya evakuasi warga sudah dilakukan dengan segala cara, dari bujuk rayu hingga imbauan pejabat pusat dan daerah, juga Sultan HB X. Tenda-tenda darurat pun sudah dipersiapkan berikut logistiknya. Bahkan, pemerintah pusat sudah menyiapkan dana bantuan bencana senilai Rp 400 miliar untuk Merapi. Namun, tidak ada satu pun tenda darurat maupun tempat penampungan yang terisi penuh oleh penduduk.

Warga tetap bersikukuh dengan pendiriannya untuk tetap bertahan di rumah masing-masing, dengan alasan untuk menjaga aset kehidupannya, baik ternak, harta benda, dan sebagainya. Maupun keyakinan bahwa belum ada tanda-tanda dari alam maupun isyarat dari sesepuh desa dan juru kunci bahwa warga perlu mengungsi.

Terlihat ada gap dan perbedaan antara sikap dan keyakinan masyarakat dengan pemerintah. Pemerintah menganggap tanda-tanda yang ditangkap dengan teknologi modern oleh BPPTK (Balai Penyelidikan dan Penelitian Teknologi Kegunungapian) adalah sudah sangat genting sehingga masyarakat harus segera dievakuasi.

Di sisi lainnya, masyarakat berpegang pada pengalaman, kearifan masyarakat, dan tanda-tanda alam tentang perlu tidaknya mengungsi, walaupun data pengamatan dari BPPTK pun tetap mereka perhatikan. Kelihatan bahwa pemerintah secara kaku berpegang pada data pengamatan dari BPPTK dan sangat kurang mengakomodasi kearifan lokal, kultur, dan keyakinan masyarakat setempat.

Dalam peristiwa letusan Gunung Merapi 22 November 1994, masyarakat memang mengandalkan tanda-tanda dari alam untuk mengungsi dan menyelamatkan diri karena waktu itu bisa dikatakan peralatan peringatan dini milik BPPTK tidak berfungsi, misalnya sirine yang seharusnya berbunyi sebagai tanda peringatan bagi warga. Demikian pula pada letusan Februari 2001, inisiatif wargalah yang membuat warga waspada.

Dalam kosmologi Jawa, Gunung Merapi dipandang sebagai mikrokosmos dan manusia adalah makrokosmos. Gunung Merapi hanya terdiri atas unsur api, yang tidak bisa dipisahkan dengan unsur air (Pantai Selatan), dan unsur udara (Keraton Yogyakarta), dikenal sebagai poros Merapi-Keraton-Laut Selatan. Unsur air, api, dan udara ada pada diri manusia, sehingga dalam hal ini manusia lebih sempurna daripada Gunung Merapi.

Namun, dalam hal hubungan antara masyarakat setempat dan Gunung Merapi, terlihat dari pola kehidupan masyarakat bahwa manusia "tunduk" pada Gunung Merapi. Hal ini terlihat pada sikap dan tindakan masyarakat yang tidak merumput di wilayah yang angker, tidak memindahkan batu atau material sembarangan, tidak berburu binatang tertentu, pantang untuk membakar hutan, pantang untuk berbicara sembarangan di Merapi, maupun tidak membangun rumah menghadap ke Merapi.

Walaupun terkesan sebagai mitos, namun pola tersebut sangat rasional. Misalnya, tidak merumput di wilayah angker karena biasanya daerah tersebut rawan terhadap bencana Merapi maupun sebagai wilayah lindung yang memang khusus untuk tanaman keras atau konservasi. Kebiasaan tidak berburu binatang karena binatang bisa dipakai sebagai tanda-tanda akan aktivitas Gunung Merapi. Rumah tidak menghadap Merapi supaya ketika Merapi meletus penghuni bisa langsung evakuasi secara cepat ke arah selatan, misalnya untuk masyarakat di wilayah Sleman.




Aset kultur


Kultur maupun kearifan tradisional masyarakat tersebut adalah sebuah aset yang berharga karena terbukti mampu untuk memitigasi bencana alam Merapi maupun bencana lainnya. Berkat itulah, maka lingkungan alam Merapi tetap lestari dan terhindar dari perusakan serta overeksploitasi sumber daya alam oleh sebagian pihak. Namun, ternyata pemerintah memandangnya secara lain dan menganggap kultur dan kearifan tersebut sebagai penghambat dan ancaman bagi upaya- upaya penyelamatan dini versi pemerintah.

Siklus letusan Merapi sangat disadari dan diterima dengan legawa oleh masyarakat sebagai bagian evolusi alam Gunung Merapi yang dinamis. Manfaat keberadaan Merapi sudah dirasakan masyarakat, baik yang hidup dari sektor kehutanan, pertanian, peternakan, pertambangan, wisata dan sebagainya.

Maka, yang harus dilakukan oleh semua pihak, khususnya pemerintah, adalah mengakomodasi sikap, kultur, dan kearifan yang dimiliki masyarakat sebagai bagian integral dalam siklus manajemen bencana yang berkelanjutan.

Hal tersebut harus dibarengi dengan upaya komunikasi dan membangun kesepahaman tentang makna dari bahaya Merapi yang dimengerti semua pihak, khususnya masyarakat dan pemerintah. Manajemen bencana harus dipandang sebagai sebuah proses yang berkelanjutan, bahkan dalam keadaan aman sekalipun. Letusan Merapi adalah fenomena alam di luar kehendak dan kemampuan manusia, sehingga harus disikapi dengan wajar, namun penuh kewaspadaan.

Bahaya yang sebenarnya bagi masyarakat adalah bencana buatan manusia, baik oleh kebijakan negara maupun oleh institusi di luar negara yang mengancam alam dan penghidupan masyarakat. Kebijakan Taman Nasional Gunung Merapi, komersialisasi air di Umbul Wadon dan mata air lainnya, penambangan pasir yang merusak, adalah contohnya.

(Kompas, 26 April 2006)
Mimin Dwi Hartono Aktivis Pelestarian Alam Gunung Merapi, Tinggal di Yogyakarta

No comments: