Tuesday, October 31, 2006

Memenuhi Hak Asasi Pengungsi Merapi

Memenuhi Hak Asasi Pengungsi Merapi

Mimin Dwi Hartono


Kenaikan status Gunung Merapi seiring dengan aktivitas vulkanik yang meningkat telah diikuti dengan tindakan pemerintah setempat mengevakuasi dini warga yang bermukim di kawasan rawan bencana. Prioritas pertama dilakukan terhadap wanita, anak-anak, dan orang yang berusia lanjut. Namun, evakuasi yang dijalankan belum efektif terlaksana karena terkendala hal teknis terkait dengan kelayakan tempat pengungsian dan fasilitasnya yang banyak dikeluhkan oleh pengungsi. Akibatnya banyak pengungsi yang memutuskan kembali ke rumah mereka karena merasa tidak nyaman dan mengalami stres di kamp pengungsian.


Sudah ada standar pengungsian yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menjamin hak asasi para pengungsi, yaitu Prinsip-prinsip Panduan bagi Pengungsi Internal. Dalam prinsip tersebut pengungsi disebut juga sebagai internally displaced person (IDPs), yang didefinisikan sebagai orang-orang atau kelompok orang yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah mereka atau tempat mereka dulu biasa tinggal. Terutama sebagai akibat dari, atau dalam rangka menghindarkan diri dari dampak-dampak konflik bersenjata, situasi-situasi rawan yang ditandai oleh maraknya tindak kekerasan secara umum, pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia, bencana-bencana alam, atau bencana-bencana akibat ulah manusia, dan yang tidak melintasi perbatasan negara yang diakui secara internasional.


Prinsip-prinsip tersebut mengidentifikasi hak-hak dan jaminan-jaminan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap orang-orang dari paksaan untuk mengungsi, perlindungan dan bantuan terhadap mereka selama masa pengungsian, serta perlindungan dan bantuan selama mereka pulang kembali atau selama proses permukiman di tempat lain, dan selama proses reintegrasi dengan masyarakat pada masa pascapengungsian.


Sering kali hak-hak para pengungsi secara sengaja ataupun tidak sengaja diabaikan karena kompleksnya permasalahan yang ada di lapangan. Hal ini sudah terjadi terhadap pengungsi Merapi, antara lain keluhan atas fasilitas mandi dan mencuci, kesehatan, dan ruang pengungsian yang kurang layak. Juga masih lekatnya anggapan dan perlakuan terhadap pengungsi sebagai obyek bencana, sehingga mereka sangat jarang diikutsertakan dalam pengambilan keputusan terhadap dirinya ataupun dalam pengelolaan tempat pengungsian dan logistik.


Wanita, anak-anak, orang yang berusia lanjut, ataupun orang cacat adalah kelompok yang harus diperhatikan secara khusus dalam masa pengungsian. Hal ini karena rawannya pelanggaran terhadap hak asasi mereka selama tinggal di pengungsian, misalnya, pelecehan seksual, diskriminasi, dan pembatasan akses. Dengan demikian, sangat penting pemerintah menjamin perlindungan atas diri mereka dan memberi kesempatan bagi mereka untuk berpartisipasi dalam mengelola tempat dan sarana pengungsian sehingga mampu memenuhi dan melindungi hak asasi mereka. Hal ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 41 ayat 2: "Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus".


Prinsip pertama dalam panduan tersebut menyatakan bahwa "para pengungsi internal memiliki, dalam kesetaraan penuh, hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang dijamin oleh hukum internasional dan nasional, sama seperti orang-orang lain di negeri mereka. Mereka tidak boleh didiskriminasi secara merugikan dalam memperoleh hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang mana pun dengan alasan bahwa mereka adalah pengungsi internal".


Dari prinsip tersebut jelas bahwa alasan menjadi pengungsi bukan berarti bahwa hak-haknya bisa didiskriminasikan, misalnya oleh pemerintah atau siapa pun. Pemerintah sebagai koordinator masalah pengungsian harus mengusahakan sebuah kondisi dan tempat pengungsian yang layak sesuai dengan standar kehidupan mereka dan mampu memenuhi hak-hak pengungsi. Misalnya hak atas kesehatan, hak wanita, hak anak-anak, hak atas pangan, ataupun hak atas pendidikan. Jangan sampai kekurangan dalam peristiwa pengelolaan pengungsi pada bencana Merapi 1994 dan 1997 terulang kembali, yaitu logistik bagi pengungsi yang sangat tidak layak. Contohnya, beras yang tidak layak dikonsumsi ataupun banyaknya bantuan dari luar berupa makanan yang tidak terdistribusikan dan akhirnya membusuk di gudang logistik. Semestinya logistik didistribusikan dan dikelola secara terencana dan partisipatif, jangan sampai tersentralisasi pada pihak tertentu saja.


Kemudian prinsip kedelapan menyatakan bahwa "pengungsian internal tidak boleh dilaksanakan dengan cara-cara yang melanggar hak untuk hidup dari mereka yang terkena, martabat mereka, serta kebebasan dan keamanan mereka". Hal ini berarti bahwa cara-cara mengevakuasi harus dilakukan dengan cara yang santun dan elegan. Jangan sampai ada tindakan pemaksaan dan intimidasi dengan tujuan memaksa seseorang atau sekelompok orang untuk mengungsi. Apabila ini terjadi, berarti telah terjadi pelanggaran terhadap hak atas rasa aman dan hak untuk hidup, yang dilindungi dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 9 ayat 1: "Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya" dan ayat 2: "Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin".


Prinsip ke-18 menyatakan bahwa "semua pengungsi internal memiliki hak atas standar penghidupan yang layak. Paling sedikit, dalam keadaan apa pun, dan tanpa diskriminasi, pihak-pihak berwenang yang terkait harus menyediakan bagi para pengungsi internal, dan memastikan akses yang aman kepada bahan pangan pokok dan air bersih; tempat bernaung atau perumahan yang bersifat mendasar; bahan sandang yang layak; dan layanan kesehatan dan sanitasi yang penting. Dan harus dilaksanakan upaya-upaya khusus untuk memastikan adanya peran serta penuh kaum perempuan dalam perencanaan dan pembagian pasokan-pasokan pokok tersebut".


Lalu prinsip ke-22 berisi, pertama, para pengungsi internal, yang tinggal di dalam kamp ataupun tidak, tidak boleh didiskriminasi secara merugikan, sebagai akibat dari pengungsian mereka, dalam hal mendapatkan hak-hak, antara lain hak-hak atas kemerdekaan pikiran, hati nurani, agama atau kepercayaan, pendapat, dan ekspresi; hak untuk mencari dengan bebas kesempatan kerja dan untuk berperan serta dalam kegiatan-kegiatan ekonomi; hak untuk berserikat dengan bebas dan berperan serta, dengan posisi setara, dalam urusan-urusan komunitas; hak untuk memilih dan untuk berperan serta dalam urusan-urusan pemerintahan dan publik, termasuk hak untuk mempunyai akses terhadap sarana-sarana yang diperlukan untuk mewujudkan hak ini; dan hak untuk berkomunikasi dalam bahasa yang mereka pahami.


Prinsip-prinsip tersebut sangat bermanfaat bagi berbagai pihak, khususnya bagi pemerintah dan sukarelawan, sebagai standar setting dalam mengelola tempat pengungsian yang mampu menjamin, melindungi, dan memenuhi hak asasi pengungsi. Hal ini akan berhasil bila paradigma yang dipakai adalah menempatkan pengungsi sebagai subyek dalam pengelolaan bencana, termasuk dalam mengelola tempat pengungsian.

No comments: