Wednesday, February 27, 2008

Kambing Hitam Lumpur Lapindo


MIMIN DWI HARTONO


Sudah hampir dua tahun puluhan ribu korban lumpur Lapindo berlumur duka dan nestapa tanpa ada kejelasan nasib serta kompensasi atas derita yang mereka alami. Masa depan mereka muram, hitam, sehitam nasib mereka yang terus dipingpong oleh ketidaktegasan negara dalam menetapkan, apakah semburan lumpur disebabkan oleh manusia / korporasi ataukah oleh alam. Dua pendulum ini terus bergerak, sampai akhirnya Tim Pengawas Penanganan Dampak Lumpur Lapindo (selanjutnya disebut dengan Tim) memutuskan bahwa semburan lumpur Lapindo sebagai bencana alam. Alam kembali menjadi ’’kambing hitam’’. Lengkap sudah penderitaan rakyat ketika Tim bentukan wakil rakyat di Senayan tidak mampu menunjukkan kredibilitas kerjanya kepada rakyat.

Kini, para korban tidak tahu lagi harus mengadu pada siapa karena hampir semua institusi/pimpinan negara sudah mereka sambangi. Namun, hasilnya masih jauh dari yang mereka harapkan. Tim menetapkan kejadian semburan lumpur Lapindo sebagai bencana yang diakibatkan alam atau lebih tepatnya disebut sebagai dampak dari bencana gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006. Keputusan ini tentu saja telah mengoyak-ngoyak rasa kemanusiaan dan keadilan sehingga ditolak dan menimbulkan kemarahan masyarakat korban juga banyak pihak yang sangat concern pada nasib para korban. Keputusan Tim dianggap telah menutup mata atas fakta-fakta sosial, hukum (dalam proses pembuktian), dan ilmiah bahwa lumpur Lapindo diduga keras adalah dampak dari kelalaian manusia atau korporasi, yaitu PT Lapindo Berantas Incorporated.

Tim telah mengambil jalan pintas dengan mengambinghitamkan alam sebagai penyebab semburan lumpur Lapindo. Keputusan Tim tersebut sangat tidak tepat dan tidak bijak karena bukan pada porsinya DPR menyampaikan sesuatu keputusan yang bukan merupakan kewenangan dan keahliannya. Keputusan itu telah memolitisasi kejadian semburan lumpur yang patut diduga mengandung unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagai kejadian politik. Keputusan itu telah menafikan pendapat-pendapat dan fakta-fakta adanya unsur kelalaian manusia atau korporasi di dalamnya.

Semestinya, Tim sebagai representasi DPR yang notabene adalah lembaga politik terhormat menahan diri dan tidak turut campur dalam kasus ini,terlebih kasus ini sedang dalam proses penyelidikan dan penyidikan oleh aparat penegak hukum. Dengan demikian, suka atau tidak suka, keputusan Tim patut diduga akan memengaruhi proses hukum yang sedang berjalan dan memandulkan tuntutan korban di luar peta terdampak yang menuntut agar desanya dimasukkan sebagai wilayah yang harus diberikan kompensasi oleh PT Lapindo. Perlu diketahui bahwa kasus lumpur Lapindo telah menjadi perhatian dunia termasuk di dalam forum-forum hak asasi manusia tingkat regional dan internasional, khususnya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Komitmen dan langkah-langkah positif pemerintah dalam menangani kasus ini akan dan telah menjadi sorotan internasional, terlebih Indonesia merupakan anggota Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang mestinya memberikan contoh terbaik dalam penegakan HAM bagi warganya. Indonesia juga akan menjadi salah satu negara pada periode pertama yang akan dinilai situasi dan komitmen negara dalam ranah penegakan HAM selama lima tahun terakhir melalui mekanisme Universal Periodic Review pada April 2008 mendatang di markas Dewan HAM PBB di Jenewa.

Dengan keputusan dari Tim ini kekhawatiran bahwa penegakan hukum atas kasus itu menjadi mandul atau terhenti adalah sangat beralasan, dengan melihat pada pengalaman pengalaman yang lalu, di mana intervensi politik telah memandulkan penegakan hukum yang sedang berjalan. Ambil contoh misalnya pada kasus-kasus penyelidikan pelanggaran HAM yang berat yang sudah tuntas ditangani Komnas HAM, tapi mandek di DPR. Sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum dan HAM, politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya (rule of law).


Kepercayaan rakyat pada institusi publik, terutama DPR sudah berada pada titik nadir yang sebenarnya akan membahayakan eksistensi lembaga politik ini pada masa mendatang. Apabila DPR tidak mampu lagi merepresentasikan atau berpihak pada rakyat,yang terjadi adalah politic chaos, politik yang kacau balau karena rakyat akan berusaha menemukan mekanisme lain yang lebih demokratis dan adil.Dengan melihat pada konstelasi semacam ini semestinya DPR lebih cermat dan berhati-hati dalam bertindak dan memutuskan sesuatu, bukannya membuat keputusan yang semakin kontraproduktif dalam rangka pemulihan citra DPR.


Yang paling penting ditegaskan oleh pimpinan DPR, yakni Tim telah memutuskan bahwa kasus semburan lumpur Lapindo merupakan bencana alam, jangan sampai hal ini memengaruhi penegakan hukum yang sedang berjalan. Keputusan Tim bukanlah segalanya, masih harus diuji secara ilmiah dalam forum akademis dan dalam forum politik.

Apabila DPR masih mempunyai keberpihakan pada masyarakat, sidang paripurna harus mengkaji ulang untuk menerima keputusan Tim. Keputusan Tim sangat bernuansa menyelamatkan citra politik pemerintah menjelang Pemilu 2009. Ada pihak yang khawatir jika kasus ini tidak diperjelas statusnya, akan menjadi batu sandungan yang bisa menjadi alat bagi lawan-lawan politik pemerintah yang berkuasa. Jangan sampai keputusan DPR menjadi salah satu alat untuk mencuci diri pihak yang berkuasa atas tanggung jawabnya dalam menangani lumpur Lapindo.

Secara ilmiah,keputusan DPR yang menurut kabar berdasar pada pendapat para ahli yang pro bahwa semburan lumpur Lapindo adalah bencana alam harus dikonfrontasi dengan tim ahli lain,yang meyakini bahwa penyebab semburan lumpur itu akibat kelalaian manusia atau korporasi. Di sinilah nantinya kredibilitas para anggota DPR dan ilmuwan akan dipertaruhkan, masihkah mereka mempunyai sense of humanity dan sense of justice ketika melihat penderitaan puluhan ribu masyarakat korban lumpur Lapindo masih terlantar dan belum mendapatkan keadilan yang selayaknya. Semoga masih ada hati nurani di negeri ini.(*)

1 comment:

korban lapindo said...

Hati nurani tentu masih di negeri ini, tetapi jelas tidak di pemimpin-pemimpin bangsa. Kalau bagi mereka yang penting kepentingan mereka dan yang membiayai mereka bisa selamat


salam dari Sidoarjo

korbanlapindo