Monday, March 26, 2007

Hak Asasi Manusia Atas Air

Mimin Dwi Hartono, peneliti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Tak terbantahkan bahwa air adalah komponen paling mendasar dan esensial bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Tanpa air, manusia tidak akan bisa bertahan hidup dalam hitungan hari, sehingga air menjadi modal paling utama untuk menjamin dan melindungi hak untuk hidup serta untuk memenuhi hak asasi manusia yang lain. Tanpa air yang layak, bersih, dan menyehatkan, manusia tidak akan bisa mencapai tahap kesejahteraan hidup yang layak untuk tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi dan menikmati hasil pembangunan secara tenang.


Sebagai komoditas yang esensial dan menyangkut hajat hidup manusia keseluruhan, pemerintah punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin agar air tersedia dalam jumlah dan kualitas yang baik dan dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi. Lantas bagaimana dengan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia atas air, terkait dengan momentum Hari Air Internasional pada 22 Maret?


Meskipun sebagian besar permukaan bumi terdiri atas air, hanya satu persennya yang layak dikonsumsi. Sembilan puluh sembilan persen yang lain berupa air asin dan es di kutub, yang tidak layak dikonsumsi. Ketersediaan air yang sangat terbatas tersebut semakin tidak bisa memenuhi kebutuhan manusia yang jumlahnya semakin besar. Walaupun berbagai macam teknologi pemanfaatan air telah ditemukan, tidak mampu menahan laju pertambahan penduduk yang tak terkendali. Dalam kurun waktu 50 tahun, populasi dunia meningkat hampir 60 persen, dari 2,5 miliar jiwa pada 1950 menjadi sekitar 6 miliar jiwa pada 2005.


Manusia yang semakin bertambah menimbulkan konsekuensi semakin besarnya tingkat kebutuhan akan air yang bersih dan menyehatkan untuk hidup dan aktivitas kehidupan lainnya. Dan pada saat yang sama, kualitas air yang bersih dan menyehatkan semakin terbatas dan langka akibat tercemarnya air oleh aktivitas industri, kegiatan pertambangan, kegiatan rumah tangga, dan perilaku individu yang tidak bertanggung jawab. Terjadi ketimpangan antara kebutuhan air dan ketersediaan air dalam jumlah dan kualitas yang memadai sehingga menimbulkan kompetisi perebutan sumber daya air, yang mencuatkan konflik dan kekerasan. Di sisi lain, ketimpangan ini dilihat sebagai peluang bisnis oleh sebagian pihak yang kemudian mengarah pada privatisasi air atau komersialisasi air.


Privatisasi air menjadi ancaman serius. Air ditempatkan sebagai komoditas, sehingga makin menjauhkan fungsi esensial air sebagai komoditas publik. Dengan privatisasi, hanya mereka yang berkemampuan ekonomi yang bisa mengakses air. Privatisasi yang hanya bertujuan mencari profit bukan menjadi solusi bagi kelangkaan air, melainkan menjadi masalah baru dan menjerumuskan negara dalam jebakan utang yang semakin dalam. Contohnya Perusahaan Air Minum Jaya di Jakarta, yang terjebak utang luar negeri Rp 1,6 triliun, dan perusahaan daerah air minum di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yang juga terjerat Rp 10 miliar. Utang ini menjadi justifikasi bagi masuknya korporasi asing untuk menguasai distribusi air yang berorientasi pada profit dengan cara menaikkan harga air.


Air sebagai bagian dari hak mendasar (fundamental right) semakin digeser fungsinya menjadi komoditas bisnis dan politik sehingga mengancam pemenuhan hak asasi manusia bagi 1,1 miliar jiwa manusia di dunia yang belum bisa mengakses air bersih dan 2,4 miliar jiwa lainnya yang tidak punya fasilitas sanitasi memadai, yang sebagian besar hidup di Benua Afrika dan Asia.


Hal ini diperparah oleh manajemen air di dunia yang sangat buruk sehingga mengakibatkan tidak efisiennya distribusi air berupa kebocoran air yang sangat besar. Di Asia, tingkat kebocoran air mencapai 42 persen, di Afrika 39 persen, di Amerika Latin 42 persen, dan di Amerika Utara 15 persen. Kebocoran air ini diduga dilakukan secara sengaja guna dijual secara ilegal untuk kepentingan memperkaya diri para pejabat yang bertanggung jawab dalam penyediaan air bersih.


Kesenjangan kemampuan ekonomi antara negara-negara Barat dan Timur juga menimbulkan ketidakadilan atas akses air yang sangat serius. Di Amerika Serikat setiap orang mengkonsumsi 158 galon air setiap hari, sedangkan di Senegal hanya 7,6 galon per orang. Artinya, konsumsi air untuk satu orang di Amerika bisa untuk delapan orang di Senegal. Pola konsumsi yang boros dan tidak fair ini pada akhirnya akan menjerumuskan pada ketidakadilan yang lain, karena perilaku sebagian kecil manusia yang boros akan sumber daya air akan ditanggung oleh sebagian besar umat manusia lainnya.


Akibatnya, penyakit yang muncul sebagai akibat kekurangan air (water shortage) dan ketidakadilan atas akses terhadap air pun semakin bertambah dan menelan korban jiwa yang semakin meningkat. Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 80 persen penyakit di dunia (kolera, disentri, hepatitis) adalah akibat manusia mengonsumsi air yang tidak memenuhi standar kesehatan. Industrialisasi yang dipusatkan di perkotaan telah menciptakan permukiman kumuh yang sangat sulit dijangkau jaringan air bersih dan menyebabkan semakin akutnya tingkat pencemaran air. Tingkat pencemaran air di kota-kota di Asia sangat tinggi karena 90 persen limbah air langsung dibuang ke sungai tanpa proses pengolahan.


Dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, hak atas air diakomodasi dalam artikel 24: "Negara wajib melakukan tindakan untuk memerangi penyakit dan kekurangan gizi pada anak melalui penyediaan nutrisi yang berkecukupan dan air minum yang bersih, dan juga memperhatikan bahaya dan risiko dari polusi lingkungan." Kemudian Deklarasi Milenium, yang mencetuskan proyek Millennium Development Goals, yang merupakan komitmen para kepala negara/pemerintahan anggota PBB untuk memerangi kemiskinan global sampai tahun 2000-2015, menyerukan kepada pemerintah agar "menyediakan akses air bersih dan sanitasi yang memadai bagi masyarakat yang saat ini belum bisa menikmatinya".


Meskipun demikian, belum ada payung hukum, kebijakan, dan implementasi program yang konkret dari pemerintah Indonesia untuk menjamin ketersediaan air sebagai bagian dari hak asasi manusia. Yang terjadi sebaliknya, disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang melegalisasi tumbuh suburnya bisnis air, sehingga bertentangan dengan berbagai kovenan, konvensi, ataupun komitmen internasional hak asasi manusia yang menjamin air sebagai hak asasi manusia. Maka, yang dibutuhkan sekarang adalah kebijakan "air bagi semua" (water for all). Tanpa itu, air hanya akan jadi komoditas bisnis dan politik yang tiada akhir, dikuasai oleh sebagian kecil orang dengan jalan mencelakai lebih dari 100 juta jiwa di Indonesia dan 3 miliar jiwa di dunia yang belum bisa menikmati air sebagai bagian dari pemenuhan hak asasinya.

(Koran Tempo, 24 Maret 2007)

No comments: