Tuesday, December 05, 2006

Lumpur Menyembur Sampe Jauh...

Quo Vadis Penanganan Lumpur Lapindo
Oleh: Mimin Dwi Hartono

Penanganan lumpur Lapindo dan akibat yang menyertainya tidak menunjukan kemajuan yang berarti. Bahkan sebaliknya, yaitu mulai menelan korban jiwa sebanyak 13 orang dan puluhan luka-luka, terkena ledakan pipa pertamina di dekat pusat semburan lumpur pada 21 November yang lalu.
Rubrik Fokus Harian Kompas pada Sabtu (2/11) menyajikan sebuah simulasi yang mencengangkan. Simulasi dengan berbagai asumsi tersebut menunjukkan, pada tahun kelima, volume lumpur akan sebanyak 275,9 juta meter kubik sehingga akan menyebar sampai radius 13,2 kilometer dan mengenangi area seluas 551,7 kilometer persegi. Jika simulasi tersebut benar, maka pada tahun kelima sejak lumpur menyembur pada 29 Mei yang lalu, 80 persen luas Kabupaten Sidoarjo akan hilang, tergenang oleh lumpur.
Tentu saja pilihan semua orang adalah hal tersebut akan bisa dicegah untuk tidak terjadi. Namun berdasar fakta bahwa sampai saat ini lumpur tidak bisa dihentikan maka tidak ada salahnya jika pemerintah berpijak pada skenario terburuk tersebut untuk menyusun langkah penanganan selanjutya. Pemerintah harus segera menyusun rencana aksi komprehensif yang melibatkan semua pihak. Pemerintah juga harus menjelaskan kepada publik segala kemungkinan terburuk sebagai bagian dari hak atas informasi.
Ini bukan berarti bahwa pemerintah akan mengambil alih tanggung jawab dari PT. Lapindo Brantas Incorporated, tetapi sebagai perwujudan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi dan memenuhi hak-hak warganya. Tim perumus dan pelaksana rencana aksi ini tidak lagi bersifat ad-hoc, namun permanen, multi year, dan langsung bertanggung jawab pada presiden dan DPR. Substansi rencana aksi tersebut setidaknya berisi aspek teknis, sosial ekonomi, lingkungan, dan penegakan hukum, dengan tanggung jawab pendanaan secara penuh oleh PT. Lapindo.
Dalam hitungan enam bulan saja, lumpur telah menenggelamkan tiga kecamatan dengan korban belasan ribu penduduk. Tidak bisa tidak, pemerintah harus segera mendayagunakan sumberdayanya untuk mengatasi persoalan ini, secara terencana dan terprogram, untuk melindungi hak-hak masyarakat yang sudah maupun yang diperkirakan akan terkena dampak lumpur. Jika berpegang pada simulasi tersebut diatas maka prioritas rencana aksi adalah untuk lima tahun yang akan datang, yaitu melindungi dan menjamin keselamatan warga yang menghuni 80 persen wilayah Kabupaten Sidoarjo.
Secara teknis, upaya untuk menghentikan semburan lumpur harus terus dilakukan dengan berbagai cara. PT. Lapindo dan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur mengatakan bahwa upaya maksimal sudah dilakukan untuk menghentikan lumpur. Namun masyarakat luas masih menilai bahwa hal itu belum cukup dan proses penanganan tidak disampaikan secara transparan pada publik. Yang terlihat adalah kesibukan untuk membuat tanggul yang efektifitasnya tidak bisa diharapkan dalam waktu yang lama. Keberhasilan aspek teknis ini sangat penting dan harus diprioritaskan karena akan memengaruhi penanganan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Semakin rendah tingkat keberhasilan aspek teknis maka akan semakin besar dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang harus diatasi. Karena pemerintah sudah turun tangan, maka sangat mungkin untuk meminta bantuan pendampingan teknologi secara bilateral dari negara-negara lain untuk menghentikan semburan lumpur. Aspek ini akan menjadi penilaian dari masyarakat sejauh mana totalitas pemerintah sebagai bagian dari process of conduct melindungi hak asasi warganya.
Kemudian aspek sosial ekonomi diantaranya adalah berisi tentang mekanisme ganti untung bagi warga yang terkena dampak lumpur, relokasi asset-aset strategis milik Negara, dan kompensasi bagi korban seperti misalnya perumahan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan hal penting lainnya. Demikian pula dengan penanganan dampak terhadap lingkungan yang bersifat lintas batas (transboundary affect) dan rawan konflik. Di dalam aspek ini yang sangat penting adalah menjamin keberlanjutan kehidupan dan menyelamatkan jiwa masyarakat.
Terkait dengan komitmen pendanaan penanganan lumpur, hal ini tidak bisa disampaikan saja secara lisan oleh pemilik PT. Lapindo atau berdasar pada Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 yang akan habis masa berlakunya pada 7 Maret 2007 mendatang. Pemerintah harus meminta pada pemilik PT. Lapindo untuk menegaskan komitmen pendanaan dalam bentuk tertulis, dilegalkan, dan mengikat sampai persoalan penanganan lumpur ini terselesaikan. Berdasarkan prinsip piercing the corporate veil yang menjadi asas dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, pemilik mayoritas PT. Lapindo yaitu keluarga Bakrie harus bertanggung jawab tidak terbatas jika terbukti bahwa kasus ini adalah akibat kelalaian operasi perusahaan.
Kekuatan legal aspek pendanaan ini sangat penting dan mendasar, karena persoalan ganti untung yang diinginkan oleh warga korban lumpur pun belum bisa dipenuhi oleh PT. Lapindo. Warga menginginkan agar asset mereka, yaitu tanah diganti dengan harga 1 juta per meter persegi. Kemudian bangunan 1,5 juta per meter persegi dan tanah persawahan sebesar 120 ribu meter persegi. Sedangkan PT. Lapindo tidak bisa memenuhi tuntutan tersebut. Tuntutan penduduk tersebut sebenarnya sudah bijak, dibandingkan dengan beratnya beban penderitaan yang mereka rasakan dan alami. Kehilangan tanah leluhur, rumah, lahan pertanian, saudara, pekerjaan, pendidikan, maupun perasaan yang tidak aman dan nyaman sejak enam bulan yang lalu adalah sebuah beban yang sangat berat. Namun warga menerima keadaan tersebut dengan cara yang sangat dewasa dengan tidak melakukan tindakan yang anarkis dalam menuntut hak-haknya. Walaupun mereka tahu kondisi tersebut disebabkan oleh kelalaian PT. Lapindo, bukan oleh bencana alam.
Hal lainnya adalah aspek penegakan hukum yang harus terus dijalankan secara konsisten dan tegas. Jika betul dugaan bahwa semburan lumpur sebagai sebuah kelalaian dan atau kesengajaan operasi pengeboran perusahaan, maka kasus ini bisa dikategorikan sebagai kejahatan korporasi (corporate crime). Hal ini menjadi tugas penyelidik dan tim independen untuk segera membuktikannya. Apabila terbukti sebagai kelalaian, maka pemilik PT. Lapindo pun harus diusut, bukan hanya para pelaksana lapangan.
Adanya konflik kepentingan yang diduga akan memengaruhi proses penyelidikan dan penyidikan harus segera diatasi oleh presiden, sehingga supremasi hukum dapat ditegakkan untuk memenuhi asas keadilan yang menjadi hak masyarakat. Kasus lumpur Lapindo menjadi sebuah test case yang serius bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla untuk menegaskan komitmen dan tanggung jawab Negara dalam melindungi dan memenuhi hak asasi warganya. Kepentingan rakyat sudah seharusnya ditempatkan diatas konflik kepentingan yang pasti menyertai kasus ini. Apakah komitmen dan tanggung jawab Negara tersebut akan menemukan wujudnya atau malahan sebaliknya? Yang pasti rakyat sudah lelah menjadi korban.

No comments: