Wednesday, March 12, 2008

Memanen Bencana dari PP No 2/2008


MIMIN DWI HARTONO


Entah apa yang ada di benak para pengambil kebijakan di negeri ini ketika memutuskan untuk melahirkan kebijakan kontroversial berupa Peraturan Pemerintah (PP) No 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan

Kehutanan.Terbitnya peraturan ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai perspektif jangka panjang dan belum berpihak pada lingkungan hidup karena tidak mempertimbangkan dampak sosial,ekonomi,dan ekologis serta nilai jasa lingkungan yang hilang sebagai akibat dari pelaksanaan peraturan tersebut.Peraturan ini dipastikan akan memanen bencana dan menambah buram masa depan hutan Indonesia.

Mungkin saja pengambil kebijakan negeri ini telah amnesia, yang gampang lupa pada komitmen yang dibuatnya sendiri.Hal itu karena peraturan ini terbit ketika Deklarasi Bali, sebagai hasil dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim pada 3–14 Desember 2007 lalu,belum genap berumur tiga bulan. Dalam Deklarasi Bali itu secara jelas dituangkan komitmen dan langkah-langkah masing-masing negara, termasuk pemerintah Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim. Deklarasi dicapai dengan biaya dan proses yang tidak mudah karena melalui perhelatan yang diikuti ribuan delegasi,190 perwakilan negara-negara pihak,memeras otak, melewati persidangan yang melelahkan, bahkan dramatis sehingga membuat Menteri Negara Lingkungan Hidup (Meneg LH) Rachmat Witoelar sebagai Presiden Konferensi meneteskan air mata sebagai tanda haru.


Lantas, jika komitmen yang dicapai dengan susah payah itu dicederai sendiri oleh pemerintah,publik pantas heran dan geram.Sebenarnya, mau ke mana kebijakan kehutanan dan lingkungan hidup negeri ini akan dibawa kalau setiap meter persegi hutan akan dijual lebih murah daripada sebuah pisang goreng? Deklarasi Bali secara gamblang menyatakan bahwa setiap negara peserta,termasuk pemerintah Indonesia, akan melestarikan hutan sebagai penyerap emisi karbon yang sebagian besar diproduksi industri di negara-negara maju.Bahkan,sebagai dampak ikutan dari Konferensi Bali, euforia menanam pohon muncul di mana-mana hingga pelosok desa.
Dari kalangan partai politik, pengusaha,organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain berlomba-lomba menanam pohon untuk menunjukkan bahwa mereka berkomitmen untuk melaksanakan Deklarasi Bali. Kesadaran bahwa pohon merupakan kehidupan mulai muncul setelah berbagai bencana –sebagai akibat rusaknya hutan– terus bermunculan. Selain itu,sekarang pohon bisa dijual atas nama penyerapan karbon.


Konferensi Bali juga menyetujui salah satu mekanisme kontroversial, yaitu REDD atau Pengurangan Emisi melalui Deforestasi dan Degradasi. Emisi karbon akan dikurangi melalui pencegahan kerusakan hutan dan rehabilitasi kawasan hutan maupun nonhutan. Salah satu dampak negatif dari mekanisme ini adalah hak-hak masyarakat adat dan lokal yang menguntungkan hidupnya dari sumber daya hutan akan dirugikan. Hal itu karena mekanisme ini memungkinkan negara memakai tangan besi untuk mengambil alih lahan/hutan adat untuk dikonsesikan sebagai hutan penyerap karbon atau menjadi toilet industri negaranegara maju. Kekhawatiran itu sangat tidak berlebihan karena peraturan perundang-undangan tentang kehutanan memang tidak mengakui hutan-hutan adat karena semua hutan adalah milik negara.Negara melalui Departemen Kehutanan (Dephut) bisa mengambil alih sewaktu- waktu hutan adat atas nama undang-undang.


Ini berarti, demi melestarikan hutan untuk dijual potensi penyerapan karbonnya ke negara-negara maju, hak-hak masyarakat adat/lokal yang mengantungkan hidupnya pada sumber daya hutan akan terkurangi, tercerabut,atau terhalangi sehingga berpotensi terjadinya pelanggaran hak-hak asasi manusia.Namun di sisi lain,korporasi yang mempunyai akses modal dan kekuasaan dapat ’’merusak” hutan atas nama pembangunan asal bisa memberikan pendapatan negara bukan pajak kepada pemerintah. Di sinilah terjadi diskriminasi kebijakan. Masyarakat kecil selalu dikorbankan, sedangkan mereka yang kaya dan berkuasa diproteksi dengan peraturan walaupun secara jelas telah melakukan perusakan hutan. Di samping bernuansa diskriminatif, kerugian ekologis,sosial,budaya,dan ekonomi sebagai dampak dari implementasi peraturan ini amat jelas akan jauh lebih besar daripada pemasukan nonpajak yang diterima pemerintah dari peraturan ini.

Sudah jamak diketahui bahwa kerusakan hutan yang sangat masif terjadi karena pembalakan hutan secara ilegal ataupun legal atas nama izin hak pengusahaan hutan (HPH), izin hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI),dan lain-lain. Kerusakan hutan juga disebabkan penambangan yang legal maupun ilegal,konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit maupun komoditas lainnya,untuk perluasan permukiman, dan lain-lain.Belum selesai masalah penyebab kerusakan hutan itu diatasi,muncul peraturan yang bisa menjadi justifikasi hukum bahwa merusak hutan itu diizinkan asal membayar sejumlah uang tertentu kepada pemerintah.

Hutan merupakan warisan dari anak-cucu kepada negara ini sehingga pemerintah yang terbentuk selama lima tahun tidak bisa seenaknya melahirkan kebijakan yang akan mencabut hak anak-cucu untuk menikmati hutan dan fungsi jasa lingkungan yang dihasilkannya. Selagi belum menimbulkan konflik berkepanjangan dan berdampak lebih luas pada sistem ekologi yang berimbas pada semakin masifnya bencana akibat buatan manusia, masih ada kesempatan bagi pemerintah untuk mencabut peraturan ini tanpa perlu malu.