Monday, March 26, 2007

Lumpur Lapindo Menyembur Semakin Jauh

Mimin Dwi Hartono (Peneliti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia)

Tragedi lumpur Lapindo, yang telah merenggut hak hidup dan penghidupan yang bermartabat bagi puluhan ribu warga Sidoarjo, menyembur semakin jauh. Rentetan bencana yang silih berganti di Tanah Air telah memecah konsentrasi publik atas tragedi lumpur, yang kabarnya terbesar di dunia itu. Sampai kemudian pada 3 Maret kembali diberitakan seorang pekerja tewas akibat truknya terguling di dekat pusat semburan lumpur. Korban terakhir semakin menambah jumlah manusia yang kehilangan hak hidup, terenggut masa depannya, seiring dengan tenggelamnya rumah dan pengharapan masyarakat. Sementara itu, masa kerja Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo (selanjutnya ditulis Tim Lama), yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006, akan segera berakhir pada 7 Maret 2007.


Menurut perkiraan para ahli yang tergabung dalam Ikatan Ahli Geologi Indonesia, lumpur masih akan menyembur selama 31 tahun. Bagaimana dengan wajah Sidoarjo dan Jawa Timur nantinya jika benar bahwa lumpur baru akan berhenti 31 tahun kemudian? Usaha menutup semburan lumpur dengan relief well telah gagal. Upaya mengurangi semburan lumpur dengan bola beton pun sangat kecil kemungkinannya berhasil.


Publik menilai bahwa pemerintah, yang diwakili oleh Tim Lama, kurang maksimal dalam memobilisasi sumber daya untuk menutup semburan lumpur. Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah adalah melakukan segala upaya, baik melalui kebijakan, anggaran, legislasi, maupun kerja sama internasional, untuk melindungi hak asasi manusia. Hal ini ditegaskan dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang telah diratifikasi pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 11/2005 pada Pasal 2 angka 1: "Setiap negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik secara individual maupun melalui bantuan dan kerja sama internasional, khususnya di bidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini dengan cara-cara yang sesuai, termasuk dengan pengambilan langkah-langkah legislatif". Tidak ada alasan untuk tidak melakukannya secara maksimal, karena taruhannya adalah hak untuk hidup dan hak atas sumber penghidupan masyarakat.


Tim baru harus segera dibentuk dan ditetapkan untuk menyusun langkah penanganan lumpur dan dampaknya secara terintegrasi. Ini bukan berarti bahwa pemerintah akan mengambil alih tanggung jawab dari Lapindo Brantas Incorporated, melainkan sebagai perwujudan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Tim baru ini tidak lagi bersifat ad hoc, tapi permanen, multi years, dan langsung bertanggung jawab kepada presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Substansi rencana aksi tersebut setidaknya berisi tiga hal yang terintegrasi, yaitu aspek teknis/teknologi, sosial-ekonomi-lingkungan, dan penegakan hukum serta hak asasi manusia.


Dari aspek teknis, upaya menghentikan semburan lumpur harus terus dilakukan dengan berbagai cara. Keberhasilan aspek ini sangat penting dan harus diprioritaskan karena akan mempengaruhi penanganan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Semakin rendah tingkat keberhasilan aspek teknis, akan semakin besar dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang harus ditanggung. Tim baru nantinya sebaiknya meminta bantuan pendampingan teknis secara internasional untuk menghentikan semburan lumpur. Aspek ini akan menjadi penilaian utama dari masyarakat dan dunia internasional sejauh mana totalitas pemerintah sebagai bagian dari process of conduct melindungi hak asasi warganya.


Kemudian aspek sosial ekonomi di antaranya berisi tentang mekanisme ganti untung bagi warga yang terkena dampak lumpur, relokasi aset-aset strategis milik negara, dan kompensasi bagi korban, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan pangan. Selain itu, penanganan dampak terhadap lingkungan yang bersifat lintas batas (transboundary affect), semakin menyebar, dan rawan memunculkan konflik horizontal antarmasyarakat ataupun vertikal. Membangun komunikasi antarmasyarakat menjadi sangat penting untuk membangun kebersamaan dan solidaritas sosial.


Terkait dengan komitmen pendanaan penanganan lumpur, hal ini tidak bisa hanya berdasarkan keputusan terdahulu, khususnya hanya mencakup empat desa yang ditetapkan pada 4 Desember 2006. Pemerintah harus merevisi keputusan terdahulu dan meminta pemilik Lapindo Brantas Inc. menegaskan komitmen pendanaan dalam bentuk tertulis, legalized, dan mengikat sampai persoalan penanganan lumpur ini terselesaikan. Hal ini dilakukan karena lumpur dipastikan akan meluber ke mana-mana dan semakin banyak rumah serta desa yang tenggelam. Jelas tidak adil jika Lapindo Brantas Inc. hanya bersedia membiayai empat desa yang terdahulu berdasarkan keputusan normatif dalam perjanjian, padahal secara faktual dan materiil lumpur telah menyebar ke wilayah lain.


Aspek lain adalah penegakan hukum yang harus terus dijalankan secara konsisten dan tegas. Kuat dugaan bahwa semburan lumpur akibat kelalaian perusahaan sehingga dikategorikan sebagai kejahatan korporasi (corporate crime). Hal ini menjadi tugas penyelidik/penyidik yang menjadi bagian dari tim baru untuk segera membuktikannya. Sampai saat ini, terlihat ada upaya mengambangkan penanganan hukum dan melepaskan tanggung jawab hukum para pemilik kepada para pelaksana lapangan. Berdasarkan prinsip piercing the corporate veil yang menjadi asas dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, pemilik mayoritas Lapindo Brantas Inc. harus bertanggung jawab tidak terbatas jika dugaan kuat bahwa kasus ini akibat kelalaian operasi perusahaan terbukti.


Berjalannya ketiga aspek di atas harus disertai dengan kondisi yang kondusif, yaitu menghilangkan konflik kepentingan yang akan mempengaruhinya. Hal ini harus segera diatasi oleh Presiden, sehingga supremasi hukum dan penegakan hak asasi manusia dapat diwujudkan untuk memenuhi asas keadilan yang menjadi hak masyarakat. Pembentukan tim baru dengan cakupan tugas seperti di atas serta dengan kewenangan yang lebih luas, kuat, dan independen dapat menjadi ukuran bagi publik sekaligus harapan baru bagi para korban apakah Presiden mempunyai komitmen dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia ataukah tidak.

(Koran Tempo, 6 Maret 20070

Hak Asasi Manusia Atas Air

Mimin Dwi Hartono, peneliti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Tak terbantahkan bahwa air adalah komponen paling mendasar dan esensial bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Tanpa air, manusia tidak akan bisa bertahan hidup dalam hitungan hari, sehingga air menjadi modal paling utama untuk menjamin dan melindungi hak untuk hidup serta untuk memenuhi hak asasi manusia yang lain. Tanpa air yang layak, bersih, dan menyehatkan, manusia tidak akan bisa mencapai tahap kesejahteraan hidup yang layak untuk tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi dan menikmati hasil pembangunan secara tenang.


Sebagai komoditas yang esensial dan menyangkut hajat hidup manusia keseluruhan, pemerintah punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin agar air tersedia dalam jumlah dan kualitas yang baik dan dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi. Lantas bagaimana dengan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia atas air, terkait dengan momentum Hari Air Internasional pada 22 Maret?


Meskipun sebagian besar permukaan bumi terdiri atas air, hanya satu persennya yang layak dikonsumsi. Sembilan puluh sembilan persen yang lain berupa air asin dan es di kutub, yang tidak layak dikonsumsi. Ketersediaan air yang sangat terbatas tersebut semakin tidak bisa memenuhi kebutuhan manusia yang jumlahnya semakin besar. Walaupun berbagai macam teknologi pemanfaatan air telah ditemukan, tidak mampu menahan laju pertambahan penduduk yang tak terkendali. Dalam kurun waktu 50 tahun, populasi dunia meningkat hampir 60 persen, dari 2,5 miliar jiwa pada 1950 menjadi sekitar 6 miliar jiwa pada 2005.


Manusia yang semakin bertambah menimbulkan konsekuensi semakin besarnya tingkat kebutuhan akan air yang bersih dan menyehatkan untuk hidup dan aktivitas kehidupan lainnya. Dan pada saat yang sama, kualitas air yang bersih dan menyehatkan semakin terbatas dan langka akibat tercemarnya air oleh aktivitas industri, kegiatan pertambangan, kegiatan rumah tangga, dan perilaku individu yang tidak bertanggung jawab. Terjadi ketimpangan antara kebutuhan air dan ketersediaan air dalam jumlah dan kualitas yang memadai sehingga menimbulkan kompetisi perebutan sumber daya air, yang mencuatkan konflik dan kekerasan. Di sisi lain, ketimpangan ini dilihat sebagai peluang bisnis oleh sebagian pihak yang kemudian mengarah pada privatisasi air atau komersialisasi air.


Privatisasi air menjadi ancaman serius. Air ditempatkan sebagai komoditas, sehingga makin menjauhkan fungsi esensial air sebagai komoditas publik. Dengan privatisasi, hanya mereka yang berkemampuan ekonomi yang bisa mengakses air. Privatisasi yang hanya bertujuan mencari profit bukan menjadi solusi bagi kelangkaan air, melainkan menjadi masalah baru dan menjerumuskan negara dalam jebakan utang yang semakin dalam. Contohnya Perusahaan Air Minum Jaya di Jakarta, yang terjebak utang luar negeri Rp 1,6 triliun, dan perusahaan daerah air minum di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yang juga terjerat Rp 10 miliar. Utang ini menjadi justifikasi bagi masuknya korporasi asing untuk menguasai distribusi air yang berorientasi pada profit dengan cara menaikkan harga air.


Air sebagai bagian dari hak mendasar (fundamental right) semakin digeser fungsinya menjadi komoditas bisnis dan politik sehingga mengancam pemenuhan hak asasi manusia bagi 1,1 miliar jiwa manusia di dunia yang belum bisa mengakses air bersih dan 2,4 miliar jiwa lainnya yang tidak punya fasilitas sanitasi memadai, yang sebagian besar hidup di Benua Afrika dan Asia.


Hal ini diperparah oleh manajemen air di dunia yang sangat buruk sehingga mengakibatkan tidak efisiennya distribusi air berupa kebocoran air yang sangat besar. Di Asia, tingkat kebocoran air mencapai 42 persen, di Afrika 39 persen, di Amerika Latin 42 persen, dan di Amerika Utara 15 persen. Kebocoran air ini diduga dilakukan secara sengaja guna dijual secara ilegal untuk kepentingan memperkaya diri para pejabat yang bertanggung jawab dalam penyediaan air bersih.


Kesenjangan kemampuan ekonomi antara negara-negara Barat dan Timur juga menimbulkan ketidakadilan atas akses air yang sangat serius. Di Amerika Serikat setiap orang mengkonsumsi 158 galon air setiap hari, sedangkan di Senegal hanya 7,6 galon per orang. Artinya, konsumsi air untuk satu orang di Amerika bisa untuk delapan orang di Senegal. Pola konsumsi yang boros dan tidak fair ini pada akhirnya akan menjerumuskan pada ketidakadilan yang lain, karena perilaku sebagian kecil manusia yang boros akan sumber daya air akan ditanggung oleh sebagian besar umat manusia lainnya.


Akibatnya, penyakit yang muncul sebagai akibat kekurangan air (water shortage) dan ketidakadilan atas akses terhadap air pun semakin bertambah dan menelan korban jiwa yang semakin meningkat. Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 80 persen penyakit di dunia (kolera, disentri, hepatitis) adalah akibat manusia mengonsumsi air yang tidak memenuhi standar kesehatan. Industrialisasi yang dipusatkan di perkotaan telah menciptakan permukiman kumuh yang sangat sulit dijangkau jaringan air bersih dan menyebabkan semakin akutnya tingkat pencemaran air. Tingkat pencemaran air di kota-kota di Asia sangat tinggi karena 90 persen limbah air langsung dibuang ke sungai tanpa proses pengolahan.


Dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, hak atas air diakomodasi dalam artikel 24: "Negara wajib melakukan tindakan untuk memerangi penyakit dan kekurangan gizi pada anak melalui penyediaan nutrisi yang berkecukupan dan air minum yang bersih, dan juga memperhatikan bahaya dan risiko dari polusi lingkungan." Kemudian Deklarasi Milenium, yang mencetuskan proyek Millennium Development Goals, yang merupakan komitmen para kepala negara/pemerintahan anggota PBB untuk memerangi kemiskinan global sampai tahun 2000-2015, menyerukan kepada pemerintah agar "menyediakan akses air bersih dan sanitasi yang memadai bagi masyarakat yang saat ini belum bisa menikmatinya".


Meskipun demikian, belum ada payung hukum, kebijakan, dan implementasi program yang konkret dari pemerintah Indonesia untuk menjamin ketersediaan air sebagai bagian dari hak asasi manusia. Yang terjadi sebaliknya, disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang melegalisasi tumbuh suburnya bisnis air, sehingga bertentangan dengan berbagai kovenan, konvensi, ataupun komitmen internasional hak asasi manusia yang menjamin air sebagai hak asasi manusia. Maka, yang dibutuhkan sekarang adalah kebijakan "air bagi semua" (water for all). Tanpa itu, air hanya akan jadi komoditas bisnis dan politik yang tiada akhir, dikuasai oleh sebagian kecil orang dengan jalan mencelakai lebih dari 100 juta jiwa di Indonesia dan 3 miliar jiwa di dunia yang belum bisa menikmati air sebagai bagian dari pemenuhan hak asasinya.

(Koran Tempo, 24 Maret 2007)