Friday, February 16, 2007

SOLUSI BANJIR SECARA EKOLOGIS DAN HUMANIS

Oleh: Mimin Dwi Hartono

Dampak banjir yang menenggelamkan sebagian besar wilayah Jakarta kali ini, sungguh dahsyat. Tercatat lebih dari 40 orang tewas, sekitar 400 ribu orang, kaya dan miskin, mengungsi. Infrastruktur publik rusak parah, moda transportasi terhenti, dan kerugian ekonomi mencapai hampir Rp 4 triliun. Daya dukung ekologi yang semakin turun, ketidaktahuan masyarakat tentang antisipasi bencana banjir, kapasitas pemerintah yang lemah, menyebabkan dampak banjir menjadi sedemikian parah.

Banjir telah menyebabkan hak-hak fundamental warga tercerabut, yaitu hak atas kesehatan, pangan, papan, pendidikan, air bersih, dan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Masyarakat yang miskin bertambah miskin, bahkan banyak yang kembali ke titik nol, karena semua propertinya hancur. Aset pembangunan yang dibangun dan dipelihara selama sekian tahun, rusak. Roda bisnis dan pemerintahan, terhenti untuk beberapa hari.

Persoalan banjir di Jakarta adalah kejadian klasik yang terus berulang, namun selalu dipandang tidak serius dan ditangani secara parsial oleh pemerintah. Pemerintah masih gagap dan tidak mempunyai pola pencegahan dan mitigasi bencana banjir yang mumpuni. Padahal bencana semakin sering terjadi di Tanah Air dan semestinya pemerintah belajar dari pengalaman yang telah lalu. Terlebih banjir adalah kategori bencana yang didominasi oleh faktor kelalaian dan kesalahan manusia, sehingga semestinya bisa diminimalkan dampaknya.

Lebih aneh lagi, banjir itu terjadi di ibukota negara, di mana presiden, wakil presiden, para menteri, anggota parlemen, pejabat negara, dan pebisnis beraset ratusan miliar rupiah, berkantor. Di sini pula sebagian besar sumber daya ekonomi, politik, serta alat pertahanan dan keamanan tersedia. Semestinya dengan sumber daya tersebut, pemerintah DKI Jakarta dan pusat tidak mengalami kesulitan dalam memobilisiasinya untuk menangani banjir guna meminimalisasi dampak bagi manusia. Namun publik bisa mengetahui bahwa korban banjir tidak tertangani dengan baik dan layak. Bahkan korban jiwa dan material tahun ini lebih besar dari banjir besar 2002.

Pendekatan ekologis
Persoalan banjir di Jakarta tidak bisa ditangani secara sepihak dan parsial, namun harus dengan pendekatan sistem ekologis (ekosistem) dan humanis. Pendekatan itu bisa teraplikasi dengan membangun kesepahaman dan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah daerah hulu (Bogor-Puncak-Cianjur/Bopuncur) dan hilir (Jakarta).

Pendekatan ekosistem berarti melihat sebab dan akibat banjir dalam satu kesatuan ruang ekologi dengan menghilangkan sekat administrasi, politik, sosial, dan ekonomi. Ekosistem Jakarta adalah satu ruang dengan ekosistem Bopuncur, sehingga saling bergantung dan memengaruhi. Penataan ruang di hilir tidak akan bisa cukup menyelesaikan masalah jika tidak disertai dengan penatan ruang di kawasan hulu.

Persoalan kerusakan lingkungan di hulu adalah akibat dari tuntutan ekonomi yang dilegitimasi oleh keputusan politik untuk menambah pundi-pundi pendapatan asli daerah. Laju konversi lahan hijau di kawasan hulu menjadi kawasan perumahan mencapai sekitar 10 ribu hektare setiap tahun. Era otonomi mendorong semua pemerintahan di daerah untuk berlomba-lomba mengenjot pendapatan setinggi mungkin dengan mengabaikan keseimbangan ekologi. Padahal daerah hulu mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting. Wacana untuk menerapkan kebijakan insentif-disinsentif dan kompensasi dari daerah hilir ke daerah hulu menjadi sangat relevan untuk segera diterapkan.

Kebijakan insentif bertujuan untuk merangsang pihak tertentu untuk melakukan sesuatu yang diinginkan dan disinsentif adalah kebalikannya, yaitu menjauhkan perilaku yang tidak diinginkan. Insentif dapat berupa reward untuk pihak yang menjalankan kegiatan pelestarian lingkungan. Disinsentif dapat berupa denda, sanksi, maupun hukuman yang bisa menimbulkan efek jera bagi perusak lingkungan. Sedangkan kompensasi adalah besaran moneter maupun non-moneter yang diberikan pada pihak yang telah melestarikan lingkungan sehingga memberikan dampak positif bagi sebagian besar masyarakat.

Jika daerah hulu bersedia atau diharuskan untuk mengalokasikan sekian persen daerahnya sebagai wilayah ekologis, yang berarti akan mengontrol secara ketat pembangunan ekonominya sehingga berdampak pada pendapatan, daerah hilir mesti memberikan insentif dan kompensasi yang layak. Insentif dan kompensasi ini harus setara dengan pengorbanan ekonomi dan sosial yang telah dilakukan oleh daerah hulu dan cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum bagi masyarakatnya. Sedangkan disinsentif diterapkan bagi daerah hulu maupun hilir yang tidak mengindahkan kebijakan untuk melestarikan lingkungan.

Pendekatan humanis
Pendekatan ekosistem harus paralel dengan pendekatan humanis. Kebijakan insentif dan kompensasi adalah juga salah satu manifestasi dari pendekatan yang humanis. Bahwa masyarakat yang hidup di kawasan hulu mempunyai hak yang sama untuk hidup secara sejahtera dan berkecukupan, seperti mereka yang hidup di hilir. Insentif dan kompensasi adalah upaya untuk membuat kesejahteraan masyarakat di hulu meningkat dengan tidak melihat upaya melestarikan lingkungan sebagai sebuah paksaan.

Isu lain, masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dianggap sebagai salah satu penyebab meluapnya air, karena terjadi penyempitan alur sungai. Mereka yang tinggal di bantaran bukanlah sebuah pilihan, namun karena kemiskinan. Relokasi mereka dari bantaran sungai harus diikuti dengan pemberikan alternatif permukiman yang permanen, murah, dan sehat. Hal ini juga terkait dengan isu ketidakadilan, di mana mereka yang kaya dapat dengan mudah menguasai tanah dan mengubah tata ruang, sedangkan yang miskin selalu disalahkan oleh pemerintah.

Pendekatan humanis juga akan mendorong partisipasi publik dalam kebijakan penanganan banjir, karena banjir tidak mengenal strata sosial, ekonomi, dan politik. Kejadian banjir kali ini menegaskan bahwa semua kalangan menjadikan banjir sebagai ancaman bersama dan melestarikan lingkungan adalah sebuah tuntutan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.