Sunday, January 21, 2007

Reposisi Komnas HAM

Oleh: Mimin Dwi Hartono

Terlahir dalam suasana otoritarianisme negara serta di tengah cibiran dan pesimisme publik pada tahun 1993, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berhasil membuktikan diri sebagai institusi penegak HAM yang disegani. Pesimisme publik telah dijawab para anggota Komnas HAM pada kala itu dengan tindakan kongkrit mengusut beberapa kasus pelanggaran HAM yang berat. Namun reputasi dan kinerja Komnas HAM pascareformasi periode 1998-2001, yang berkiprah dengan dasar yuridis dan politis yang lebih kuat serta demokratis, justru mengalami kemerosotan yang mengkhawatirkan.
Demikian intisari buku hasil penelitian yang berjudul “Komnas HAM 1998-2001: Pergulatan dalam Transisi Politik” karya Cornelis Lay dan kawan-kawan. Lebih lanjut sampai sekarang, berbagai isu strategis dan kasus-kasus yang diduga mengandung unsur pelanggaran HAM yang berat tidak mampu direspon dan ditangani secara maksimal. Komnas HAM terjebak dalam birokrasi sehingga kehilangan momentum yang semestinya menjadi mandat untuk menunjukkan eksistensinya.
Padahal Komnas HAM mempunyai peran dan kewenangan yang strategis karena menjadi satu-satunya lembaga independen yang berwenang melakukan penyelidikan projustisia pada pelanggaran HAM yang berat, yang diamanatkan dalam Undang-Undang No.26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Walaupun wewenang tersebut hanya sampai pada tingkat penyelidikan. Sedangkan eksistensi yuridis dan legitimasi politis Komnas HAM dijamin oleh Undang-Undang No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada awal mulanya, Komnas HAM didirikan hanya berdasar pada Keputusan Presiden Nomor 50/1993.
Tulisan ini tidak akan mengulangi ironi Komnas HAM seperti disampaikan dalam buku tersebut maupun sumber-sumber lainnya, namun untuk menyambut reposisi Komnas HAM ke depan, pada era dan isu HAM yang sudah berubah. Terlebih adanya harapan perbaikan terkait dengan pemilihan anggota baru Komnas HAM untuk periode 2007-2012.
Pada masa sebelum reformasi, negara menjadi sasaran tembak utama sebagai pelaku pelanggaran HAM, termasuk yang masuk kategori sebagai pelanggaran HAM yang berat, khususnya terhadap hak sipil dan politik. Kala itu negara menjadi satu-satunya kekuatan sangat besar yang mendayagunakan sumberdayanya, baik birokrasi, politik, dan militer untuk melayani kepentingan elit penguasa. Kontrol dari luar nyaris tidak mendapatkan ruang yang memadai, bahkan direpresi dengan kekuatan keamanan dan militer. Kebebasan sipil (civil liberties) mendapatkan tekanan dan kungkungan dari negara sehingga kekuatan masyarakat sipil tidak berkembang. Kekuatan sipil baru menemukan momentumnya untuk meruntuhkan dominasi negara pada 1998, seiring dengan krisis moneter yang melanda kawasan Asia, termasuk Indonesia. Secara jujur, kekuatan ekonomi global memainkan peranan dalam proses menuju era reformasi.
Pasca 1998, era telah berubah secara signifikan, yang ditandai dengan kebebasan sipil dan politik yang sangat maju, misalnya kebebasan membentuk partai politik, amandemen konsitusi, pemilihan presiden secara langsung, dan sebagainya. Desentralisasi memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya dan menuntut hak atas pembangunan daerah dari pusat. Di sisi lain, kekuatan politik semakin terfragmentasi dan terdistribusi secara tidak sehat. Kekuatan dan organisasi negara pun tidak lagi solid, bahkan terjebak dalam konflik yang berkepanjangan.
Di sisi lain, perekonomian dikelola secara lebih liberal, sebagai konsekwensi masuknya International Monetary Fund pada tahun 1998 atas undangan pemerintahan Soeharto yang dibuat pusing oleh krisis moneter kala itu. Program penyesuaian struktural yang sarat kepentingan perusahaan multinasional asing pun diperkenalkan sehingga merubah haluan, strategi, dan pola pembangunan ekonomi menjadi sangat liberal dan kapitalis. Posisi negara yang lemah akibat fragmentasi kekuatan politik menjadi semakin lemah oleh dominannya aktor-aktor dan kekuatan ekonomi multinasional yang masuk memengaruhi ke dalam relung organisasi negara, baik dalam ranah eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Fungsi pokok negara, khususnya pemerintah, untuk melayani dan mensejahterakan masyarakat menjadi terbengkalai.
Pola dan karakteristik pelanggaran HAM pun juga berubah, bukan lagi didominasi oleh pelanggaran hak sipil dan politik, namun pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya (hak ekosob) serta hak kolektif, yaitu hak atas pembangunan, perdamaian, dan lingkungan hidup. Kasus busung lapar, penggusuran, kemiskinan, kesehatan yang memburuk, konflik berdarah antaretnis/suku, pendidikan yang sangat mahal, bencana lingkungan oleh rusaknya hutan, luapan lumpur Lapindo, adalah contoh kasus pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya dan hak kolektif yang sangat kasat mata, dan berpotensi mengandung unsur sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Jenis dan pola pelanggaran hak ekosob dan hak kolektif sejenis menjadi dominan pasca reformasi, sekarang, dan masa mendatang. Sebagai institusi strategis dan mendapatkan legitimasi dari negara untuk menegakkan HAM, Komnas HAM dituntut menjadi leading agency untuk menjawab perubahan jenis dan pola pelanggaran HAM tersebut. Komnas HAM yang akan segera dinahkodai para anggota yang baru akan menentukan masa depan Komnas HAM dalam menjawab tantangan perubahan jaman dan menghapus sinisme publik yang semakin meluas. Untuk itu, Komnas HAM dituntut untuk mereposisi peran dan strateginya, baik secara internal maupun eksternal.
Aliansi strategis dengan civil society harus dibangun kembali, sebagai energi kolektif yang selama ini dikatakan oleh banyak pihak telah hilang. Penyamaan persepsi dengan lembaga negara penegak HAM lain juga musti dilakukan karena era sudah berubah. Komnas HAM dituntut untuk membuka diri, inklusif dan partisipatif dalam menjalankan mandatnya. Dalam hal ini menggalang opini publik menjadi faktor yang sangat penting untuk menambah amunisi gerakan HAM yang demokratis dan partisipatif.
Amandemen terhadap UU No.39/1999 dan UU No.26/2000 menjadi sebuah kebutuhan dan tuntutan yang tidak bisa tidak harus dilakukan. Presiden dan parlemen seyogianya memberikan prioritas terhadap hal ini sebagai wujud keberpihakan politik HAM yang hingga sekarang masih berwajah ganda. Terlebih dengan komitmen Indonesia sebagai salah satu anggota Dewan HAM yang mestinya memberikan contoh terbaik penegakan HAM. Amandemen akan memberikan posisi politis dan kewenangan yuridis yang lebih besar bagi Komnas HAM dalam menjalankan fungsi penegakan HAM secara lebih terintegrasi, terpadu, dan terlepas dari jeratan birokrasi negara.