Tuesday, December 05, 2006

Relawan, Thx 2 U...

Terima Kasih Relawan
Oleh: Mimin Dwi Hartono

Tanggal 5 Desember adalah hari yang istimewa bagi para relawan atau volunteer. Sejak lima tahun yang lalu, dunia memperingati tanggal tersebut sebagai Hari Relawan International atau International Volunteer Day. Relawan memang sangat pantas mendapatkan hari istimewa tersebut karena dedikasi dan perannya dalam tugas-tugas kemanusiaan sangat besar dan memperoleh pengakuan dari masyarakat dan pemerintahan di seluruh dunia. Relawan bekerja tidak untuk imbalan atau balas jasa dari pemerintah atau masyarakat yang mereka bantu. Maka sangat pantas bila pada hari tersebut kita turut memperingatinya, untuk mengapresiasi dan mendorong kerja-kerja kesukarelawanan yang semakin penting di tengah gegap gempita kehidupan duniawi yang bias kepentingan ekonomi.
Bangsa Indonesia secara umum dan khususnya masyarakat yang terkena dampak bencana alam merasakan secara nyata dan meyakinkan peran dari para relawan. Gempa 5,9 skala richter yang meluluhlantahkan sebagian besar wilayah Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah pada 27 Mei yang lalu, menunjukkan fakta tak terbantahkan bahwa peran, fungsi, dan sumbangsih relawan semakin penting. Ketika gempa selama 55 detik tersebut menguncang, hari masih pagi, dan aktivitas pemerintahan sedang libur. Akibatnya respon dan tindakan dari aparat pemerintah daerah dan pusat dalam menangani bencana sangat terlambat, padahal ribuan korban bencana yang luka sangat mudah ditemui di sepanjang jalan dan ribuan korban tewas masih tertimbun reruntuhan bangunan. Korban luka terpaksa dirawat di halaman rumah sakit dan meluber ke pingir jalan besar, karena ruangan rumah sakit sudah penuh sesak oleh korban.
Ketika korban masih terguncang oleh bencana yang tiba-tiba dan tidak tahu harus berbuat apa, serta negara tidak segera menunjukkan tanggung jawabnya, para relawan telah datang dari berbagai penjuru daerah dan berbagai negara. Mereka datang hanya dengan satu tujuan, yaitu meringankan beban para korban dan memberikan bantuan yang mereka bisa untuk menyelamatkan nyawa korban terlebih dahulu (save human first).
Disamping relawan yang berseragam atau berada dibawah organisasi tertentu, banyak relawan tanpa seragam (non uniform volunteer) yang datang. Relawan tanpa seragam tersebut adalah warga masyarakat dari berbagai penjuru daerah di sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah yang rela meninggalkan aktivitas dan pekerjaannya sehari hari untuk membantu meringankan beban para korban. Mereka datang dengan mencarter angkutan umum maupun kendaraan bermotor untuk segera membantu para korban. Tidak ada kepentingan apapun yang ada dibenak mereka, kecuali adalah bentuk solidaritas antar anak bangsa yang dirundung bencana. Jiwa volunteerism dapat ditemui di hampir semua wilayah. Kaum perempuan mengumpulkan bahan makanan mentah maupun masak dan bahan kebutuhan sehari-hari. Kaum lelaki mendistribusikan bantuan tersebut dan bergotong royong merawat korban luka dan tewas serta membersihkan reruntuhan bangunan. Semangat dan peran mereka harus diapresiasi, karena berhasil meminimalisir jumlah korban dan memberikan penyelamatan pertama di kala negara sedang tidur.
Relawan juga sangat berperan dalam penanganan pengungsi akibat kenaikan aktivitas vulkanis Gunung Merapi. Ketika itu, para relawan pun berdatangan untuk memberikan bantuan yang diharapkan oleh masyarakat. Tanpa komando, mereka datang dari berbagai daerah dan organisasi, untuk mendedikasikan apa yang mereka bisa untuk meringankan beban sosial, ekonomi, dan psikologis para korban. Kebanyakan dari mereka datang tidak untuk memberikan bantuan dana, tetapi melakukan pendampingan dan menyemangati para korban yang hidup stress di pengungsian. Merekalah yang menghibur, membesarkan hati, dan memenuhi kebutuhan para pengungsi.
Salah satu relawan Gunung Merapi adalah Mbah Maridjan. Ia mendedikasikan hidupnya untuk menjaga Gunung Merapi, walaupun bahaya awan panas dan lahar Gunung Merapi mengancam setiap saat. Bukan harapan finansial atau ekonomi yang ia harap, namun kepuasan batin dan moral, karena bisa mendedikasikan hidupnya untuk keselamatan masyarakat banyak. Ketika Merapi meletus pada 14 Juni yang lalu, para relawan adalah pihak terakhir yang menyelamatkan diri, mendahulukan keselamatan masyarakat. Dedikasi tersebut dibuktikan dengan tewasnya dua relawan dalam melaksanakan tugasnya memonitor kondisi Gunung Merapi.
Kembali ke belakang, relawan yang datang langsung maupun tidak langsung sangat membantu para korban gempa dan tsunami Aceh pada akhir Desember 2004. Gelombang relawan internasional datang untuk memberikan bantuan bagi korban, dimana tidak sedikit dari mereka harus meninggalkan pekerjaan dan profesinya sehari-hari, demi mendedikasikan ilmu, kemampuan, keahlian, dan dananya untuk masyarakat Aceh. Ketika tahap tanggap darurat telah berlalu, jejak para relawan pun masih sangat dirasakan oleh masyarakat.
Masyarakat korban bencana mengakui bahwa respon dan kerja relawan sangat cepat, tanggap, dan memuaskan. Para relawan bekerja tanpa ada hambatan dan pertimbangan birokrasi. Tidak seperti halnya dengan aparat pemerintahan maupun lembaga pemberi bantuan nasional dan internasional yang seringkali sangat birokratis. Tiada keraguan sedikitpun bahwa relawan telah menyelamatkan banyak nyawa manusia dan memberikan harapan kehidupan baru bagi para korban, yang ditinggalkan oleh anggota keluarganya dan kehilangan sumber mata pencahariannya.
Relawan tidak hanya bekerja di kala bencana yang biasanya sangat hiruk pikuk oleh berbagai kepentingan. Mereka juga bekerja di dalam kesunyian di tengah hiruk pikuk masyarakat dunia yang mengejar hasrat ekonomi dan kekuasaan. Mereka ada yang bergerak sendirian maupun berkelompok dalam organisasi sosial. Mereka melakukan pendampingan terhadap masyarakat marjinal, melestarikan hutan, menyelamatkan satwa, mendidik anak-anak jalanan, membela hak-hak asasi penduduk, dan masih banyak lagi.
Relawan mengisi kekosongan peran dan tanggung jawab negara, yang dalam banyak hal, terlambat dan lambat dalam merespon kebutuhan korban, dalam kasus bencana. Atau negara tidak menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam berbagai sektor kehidupan. Terima kasih relawan, karena peran dan sumbangsihmu lah bangsa Indonesia masih bisa optimis menatap masa depan. Selamat Hari Relawan Internasional.

Lumpur Menyembur Sampe Jauh...

Quo Vadis Penanganan Lumpur Lapindo
Oleh: Mimin Dwi Hartono

Penanganan lumpur Lapindo dan akibat yang menyertainya tidak menunjukan kemajuan yang berarti. Bahkan sebaliknya, yaitu mulai menelan korban jiwa sebanyak 13 orang dan puluhan luka-luka, terkena ledakan pipa pertamina di dekat pusat semburan lumpur pada 21 November yang lalu.
Rubrik Fokus Harian Kompas pada Sabtu (2/11) menyajikan sebuah simulasi yang mencengangkan. Simulasi dengan berbagai asumsi tersebut menunjukkan, pada tahun kelima, volume lumpur akan sebanyak 275,9 juta meter kubik sehingga akan menyebar sampai radius 13,2 kilometer dan mengenangi area seluas 551,7 kilometer persegi. Jika simulasi tersebut benar, maka pada tahun kelima sejak lumpur menyembur pada 29 Mei yang lalu, 80 persen luas Kabupaten Sidoarjo akan hilang, tergenang oleh lumpur.
Tentu saja pilihan semua orang adalah hal tersebut akan bisa dicegah untuk tidak terjadi. Namun berdasar fakta bahwa sampai saat ini lumpur tidak bisa dihentikan maka tidak ada salahnya jika pemerintah berpijak pada skenario terburuk tersebut untuk menyusun langkah penanganan selanjutya. Pemerintah harus segera menyusun rencana aksi komprehensif yang melibatkan semua pihak. Pemerintah juga harus menjelaskan kepada publik segala kemungkinan terburuk sebagai bagian dari hak atas informasi.
Ini bukan berarti bahwa pemerintah akan mengambil alih tanggung jawab dari PT. Lapindo Brantas Incorporated, tetapi sebagai perwujudan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi dan memenuhi hak-hak warganya. Tim perumus dan pelaksana rencana aksi ini tidak lagi bersifat ad-hoc, namun permanen, multi year, dan langsung bertanggung jawab pada presiden dan DPR. Substansi rencana aksi tersebut setidaknya berisi aspek teknis, sosial ekonomi, lingkungan, dan penegakan hukum, dengan tanggung jawab pendanaan secara penuh oleh PT. Lapindo.
Dalam hitungan enam bulan saja, lumpur telah menenggelamkan tiga kecamatan dengan korban belasan ribu penduduk. Tidak bisa tidak, pemerintah harus segera mendayagunakan sumberdayanya untuk mengatasi persoalan ini, secara terencana dan terprogram, untuk melindungi hak-hak masyarakat yang sudah maupun yang diperkirakan akan terkena dampak lumpur. Jika berpegang pada simulasi tersebut diatas maka prioritas rencana aksi adalah untuk lima tahun yang akan datang, yaitu melindungi dan menjamin keselamatan warga yang menghuni 80 persen wilayah Kabupaten Sidoarjo.
Secara teknis, upaya untuk menghentikan semburan lumpur harus terus dilakukan dengan berbagai cara. PT. Lapindo dan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur mengatakan bahwa upaya maksimal sudah dilakukan untuk menghentikan lumpur. Namun masyarakat luas masih menilai bahwa hal itu belum cukup dan proses penanganan tidak disampaikan secara transparan pada publik. Yang terlihat adalah kesibukan untuk membuat tanggul yang efektifitasnya tidak bisa diharapkan dalam waktu yang lama. Keberhasilan aspek teknis ini sangat penting dan harus diprioritaskan karena akan memengaruhi penanganan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Semakin rendah tingkat keberhasilan aspek teknis maka akan semakin besar dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang harus diatasi. Karena pemerintah sudah turun tangan, maka sangat mungkin untuk meminta bantuan pendampingan teknologi secara bilateral dari negara-negara lain untuk menghentikan semburan lumpur. Aspek ini akan menjadi penilaian dari masyarakat sejauh mana totalitas pemerintah sebagai bagian dari process of conduct melindungi hak asasi warganya.
Kemudian aspek sosial ekonomi diantaranya adalah berisi tentang mekanisme ganti untung bagi warga yang terkena dampak lumpur, relokasi asset-aset strategis milik Negara, dan kompensasi bagi korban seperti misalnya perumahan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan hal penting lainnya. Demikian pula dengan penanganan dampak terhadap lingkungan yang bersifat lintas batas (transboundary affect) dan rawan konflik. Di dalam aspek ini yang sangat penting adalah menjamin keberlanjutan kehidupan dan menyelamatkan jiwa masyarakat.
Terkait dengan komitmen pendanaan penanganan lumpur, hal ini tidak bisa disampaikan saja secara lisan oleh pemilik PT. Lapindo atau berdasar pada Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 yang akan habis masa berlakunya pada 7 Maret 2007 mendatang. Pemerintah harus meminta pada pemilik PT. Lapindo untuk menegaskan komitmen pendanaan dalam bentuk tertulis, dilegalkan, dan mengikat sampai persoalan penanganan lumpur ini terselesaikan. Berdasarkan prinsip piercing the corporate veil yang menjadi asas dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, pemilik mayoritas PT. Lapindo yaitu keluarga Bakrie harus bertanggung jawab tidak terbatas jika terbukti bahwa kasus ini adalah akibat kelalaian operasi perusahaan.
Kekuatan legal aspek pendanaan ini sangat penting dan mendasar, karena persoalan ganti untung yang diinginkan oleh warga korban lumpur pun belum bisa dipenuhi oleh PT. Lapindo. Warga menginginkan agar asset mereka, yaitu tanah diganti dengan harga 1 juta per meter persegi. Kemudian bangunan 1,5 juta per meter persegi dan tanah persawahan sebesar 120 ribu meter persegi. Sedangkan PT. Lapindo tidak bisa memenuhi tuntutan tersebut. Tuntutan penduduk tersebut sebenarnya sudah bijak, dibandingkan dengan beratnya beban penderitaan yang mereka rasakan dan alami. Kehilangan tanah leluhur, rumah, lahan pertanian, saudara, pekerjaan, pendidikan, maupun perasaan yang tidak aman dan nyaman sejak enam bulan yang lalu adalah sebuah beban yang sangat berat. Namun warga menerima keadaan tersebut dengan cara yang sangat dewasa dengan tidak melakukan tindakan yang anarkis dalam menuntut hak-haknya. Walaupun mereka tahu kondisi tersebut disebabkan oleh kelalaian PT. Lapindo, bukan oleh bencana alam.
Hal lainnya adalah aspek penegakan hukum yang harus terus dijalankan secara konsisten dan tegas. Jika betul dugaan bahwa semburan lumpur sebagai sebuah kelalaian dan atau kesengajaan operasi pengeboran perusahaan, maka kasus ini bisa dikategorikan sebagai kejahatan korporasi (corporate crime). Hal ini menjadi tugas penyelidik dan tim independen untuk segera membuktikannya. Apabila terbukti sebagai kelalaian, maka pemilik PT. Lapindo pun harus diusut, bukan hanya para pelaksana lapangan.
Adanya konflik kepentingan yang diduga akan memengaruhi proses penyelidikan dan penyidikan harus segera diatasi oleh presiden, sehingga supremasi hukum dapat ditegakkan untuk memenuhi asas keadilan yang menjadi hak masyarakat. Kasus lumpur Lapindo menjadi sebuah test case yang serius bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla untuk menegaskan komitmen dan tanggung jawab Negara dalam melindungi dan memenuhi hak asasi warganya. Kepentingan rakyat sudah seharusnya ditempatkan diatas konflik kepentingan yang pasti menyertai kasus ini. Apakah komitmen dan tanggung jawab Negara tersebut akan menemukan wujudnya atau malahan sebaliknya? Yang pasti rakyat sudah lelah menjadi korban.