Monday, November 06, 2006

Angkor Wat yang Anggun


Berburu Matahari di Angkor Wat

WAKTU masih menunjukkan pukul 05.30 waktu Kamboja ketika Nek Sarin, pemandu dari The Star Tour Operator, mengajak saya segera bersiap menuju Angkor Wat. Matahari belum menampakkan dirinya ketika dengan berboncengan sepeda motor kami berangkat dari sebuah penginapan di kota Siem Reap, sekitar 5,5 kilometer dari arah selatan Angkor Wat. Siem Reap adalah kota kecil yang terletak sekitar 350 km dari ibu kota Kamboja, Phnom Penh.

MATAHARI terbit, itulah yang kami buru. Menikmati matahari terbit di Angkor Wat adalah peristiwa sangat menarik dan banyak diburu wisatawan yang berkunjung ke Angkor Wat, salah satu ikon penting di antara kompleks candi-candi Angkor yang dibangun peradaban Khmer pada abad ke-8 sampai abad ke-13.

Sejak hari pertama menginjakkan kaki di Kamboja, cerita indah tentang Angkor Wat telah terbayang di depan mata. Dengan membayar 12 dollar Amerika Serikat sekali masuk dan hanya berlaku selama sehari, seorang wisatawan asing bisa menikmati kompleks Candi Angkor, termasuk Angkor Wat, dari pagi sampai petang. Sedangkan untuk wisatawan domestik tidak dikenakan bea masuk.

Ketika tiba di depan Angkor Wat, ternyata ratusan turis asing yang sebagian besar berasal dari Jepang dan Eropa sudah berkerumun dengan membawa perlengkapan kamera masing-masing. Mereka menunggu terbitnya sang mentari yang perlahan-lahan muncul dari ufuk timur.

Sebelum memasuki gerbang utama, pengunjung harus melewati parit yang panjangnya sekitar 350 meter. Parit ini menghubungkan gerbang luar dan gerbang utama. Begitu sampai di gerbang, akan tampak apsaras (relief patung) yang sedang tersenyum, satu-satunya apsaras yang tersenyum dari 2.000 apsaras di Angkor Wat. Apsaras tersenyum ini menjadi salah satu obyek fotografi paling disukai para pemburu foto yang sudah berkerumun sejak pagi.

Keindahan matahari terbit di Angkor Wat terbukti ketika mentari mulai tersibak dan menyinari bangunan induk Angkor Wat berupa menara berketinggian sekitar 42 meter. Bangunan candi yang menjadi bersemu merah dengan bayangan hitam di bawahnya menjadi obyek fotografi yang memberi kepuasan tersendiri bagi pemburu gambar. Apalagi bila menikmati sang mentari pagi dari pinggir kolam, maka akan tampak betapa gagahnya Angkor Wat dengan bayangannya di atas air kolam.

WALAUPUN ada puluhan candi, Angkor Wat seakan menjadi tempat kunjungan utama dan pertama bagi para wisatawan karena sudah tercitrakan lewat predikatnya sebagai salah satu keajaiban dunia oleh Organisasi untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), seperti halnya Candi Borobudur di Indonesia. Datang ke Kamboja tidak lengkap rasanya tanpa mengunjungi Angkor Wat.

Menurut sejarah, Angkor Wat dibangun pada awal abad ke-12 atau antara 1113 dan 1150 Masehi, semasa pemerintahan Raja Suryavarman II. Dengan total luas areal sekitar 200 hektar dan dengan panjang dari timur ke barat sejauh 1,5 kilometer dan dari utara ke selatan sejauh 1,3 kilometer, Angkor Wat merupakan candi terbesar di antara yang lainnya. Angkor Wat juga merupakan monumen keagamaan Hindu terbesar di dunia sehingga simbol-simbol keagamaan sebagai perwujudan mikrokosmos agama Hindu sangat kental nuansanya.

Rangkaian galeri yang mengelilingi Angkor Wat melambangkan pegunungan yang mengelilingi Gunung Meru. Menurut kepercayaan bangsa Khmer gunung ini tempat bersemayamnya para dewa. Menara candi diasosiasikan sebagai puncak gunung, dan mendaki puncak gunung merupakan tradisi dari para leluhur bangsa Khmer.

Angkor Wat dibangun menghadap ke arah barat, bukannya ke timur seperti bangunan candi biasanya. Hal ini karena arah barat sering diasosiasikan dengan Dewa Wisnu. Dan, Angkor Wat memang dibangun untuk didedikasikan bagi Dewa Wisnu.

Seusai berburu mentari pagi, para pengunjung akan mulai memasuki bangunan dalam Angkor Wat yang kaya dengan relief sepanjang 600 meter di empat sudut candi. Sebagian besar relief tersebut menggambarkan syair kepahlawanan Mahabarata dan Ramayana. Namun, ada juga cerita tentang sejarah prosesi pembangunan Angkor Wat oleh Raja Suryavarman II, serta gambaran tentang kebaikan yang dianalogikan sebagai surga dan kejahatan sebagai neraka.

Memang tidak cukup satu hari untuk menikmati seluruh kompleks Candi Angkor yang jumlahnya puluhan. Tetapi, apa mau dikata, karena terbatasnya waktu dan biaya, hal itu belum bisa terlaksana. Untuk kunjungan satu hari biasanya sudah ada pengaturan obyek yang dikunjungi sehingga paling tidak bisa merepresentasikan gambaran keseluruhan candi.

Pengaturan obyek yang bisa dinikmati tersebut selain Angkor Wat adalah Bayon, Angkor Tom (tempat pembuatan film Tomb Rider 2), Ta Prohm (yang gambarnya muncul dalam sampul buku panduan perjalanan wisata Lonely Planet Kamboja edisi terbaru), dan berakhir menikmati terbenamnya matahari di Phnom Bakheng.

Memang disarankan untuk meluangkan waktu 4-7 hari untuk bisa menikmati seluruh panorama dan keindahan candi- candi karya besar bangsa Khmer ini. Biaya terusan 40 dollar AS per orangnya untuk waktu kunjungan sampai seminggu bukanlah harga yang mahal untuk bisa menikmati itu semua.

Setiap harinya ribuan wisatawan berkunjung ke kompleks candi ini dan akan meningkat pada musim-musim liburan antara pertengahan dan akhir tahun. Pengelolaan yang profesional merupakan salah satu kunci keberhasilan sehingga mampu menarik ribuan wisatawan setiap hari.
Menurut data Badan Pengelola Angkor, dari tiket masuk saja sumbangan pemasukan bagi negara sekitar Rp 40 miliar-Rp 70 miliar setiap tahunnya. Pemasukan yang cukup besar tersebut bisa menjadi modal bagi pengelolaan obyek wisata secara profesional.

Meskipun demikian, ancaman sudah berada di depan mata. Ribuan pengunjung yang datang setiap harinya jelas menjadi beban yang berat bagi kelestarian candi-candi tersebut, termasuk Angkor Wat. Jumlah kunjungan tersebut melebihi daya dukung yang aman bagi kelestarian sebuah bangunan tua dan bersejarah.

Ancaman lain adalah pesatnya pembangunan puluhan hotel berbintang yang dimiliki investor luar negeri yang sudah mengepung kompleks candi. Hal tersebut secara pasti akan berdampak pada kelestarian lingkungan hidup dan bangunan candi serta berdampak pada kehidupan sosial budaya masyarakat setempat yang sebagian besar masih bertani.

(Kompas, 13 Maret 2005)

Wednesday, November 01, 2006

Membumikan Hak Masyarakat Adat

Membumikan Hak Masyarakat Adat

Mimin Dwi Hartono

Mungkin tidak banyak yang tahu, termasuk masyarakat adat di Nusantara, yang jumlahnya ribuan kelompok dan populasinya sekitar 60 juta jiwa, bahwa Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Asli (The UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) pada 29 Juni 2006.


Dalam sidang perdana Dewan HAM PBB setelah terbentuk menggantikan Komisi HAM PBB tersebut, sebanyak 30 negara anggota mendukung pengesahan, termasuk Indonesia, 2 negara menolak, dan 12 negara tidak memberikan suara atau abstain. Dewan HAM memutuskan mengadopsi deklarasi tersebut untuk dibawa ke Sidang Umum PBB di markas besar PBB di New York pada September mendatang, setelah mendapatkan rekomendasi dari Ketua Pelapor Kelompok Kerja Komisi HAM PBB yang telah mengelaborasi draf deklarasi tersebut melalui serangkaian konsultasi dengan kalangan masyarakat asli/adat dan masyarakat sipil sedunia selama beberapa tahun terakhir ini.


Setelah menjadi draf selama 20 tahun dan diperjuangkan tiada kenal lelah oleh kalangan pejuang hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia, deklarasi tersebut akan memberikan arah dan harapan perubahan yang lebih baik bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat yang terdiri atas sekitar 374 juta jiwa di seluruh dunia dan telah dimarginalkan dalam kebijakan pembangunan yang top-down dan eksploitatif terhadap sumber daya alam.


Deklarasi tersebut menyebutkan masyarakat adat punya hak untuk menikmati secara penuh, baik secara kolektif maupun individual, segala macam hak asasi dan kebebasan mendasar seperti yang diakui dalam Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, dan perangkat hukum internasional tentang hak asasi manusia. Masyarakat adat dan individu mempunyai kebebasan dan kesetaraan dengan masyarakat dan individu lainnya dan memiliki hak untuk terbebas dari segala macam jenis diskriminasi, punya hak melakukan identifikasi diri, serta memiliki kebebasan untuk meraih pemenuhan hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya dalam kerangka negara tempat mereka bernaung.


Masyarakat adat juga mempunyai hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki, kuasai, atau gunakan dan hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki, kuasai, atau gunakan, atau yang telah diambil alih atau dirusak tanpa setahu mereka. Serta hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang dapat berdampak pada hak mereka, melalui perwakilan yang mereka pilih sesuai dengan prosedur mereka, dan memelihara serta mengembangkan lembaga pengambilan keputusan mereka.


Masyarakat adat merupakan bagian terbesar dari konstituen yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mereka telah ada sebelum terbentuknya NKRI. Mereka mendiami tanah ulayat yang tersebar di pegunungan, hutan rimba, dan kepulauan di Nusantara, yang pada umumnya kaya akan bahan tambang dan sumber daya alam. Mereka mempunyai teritori, sistem pemerintahan, dan hukum sendiri yang masih sangat eksis sampai sekarang untuk mengatur kehidupan komunitas mereka, termasuk dalam membangun hubungan dengan pihak eksternal dan alam sekitarnya.


Momentum pelemahan secara sistematis terhadap hak-hak masyarakat adat di Indonesia terjadi sejak penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, di mana pemerintah melakukan penyeragaman sistem pemerintahan menjadi sistem pemerintahan tunggal berbentuk desa. Akibatnya, sistem pemerintahan adat yang telah ada dan hidup ratusan bahkan ribuan tahun harus mengikuti model desa yang sangat tidak sesuai dengan kultur, sistem pemerintahan, dan kehidupan mereka. Dampak selanjutnya bisa diduga, yaitu terjadi konflik antara negara dan masyarakat adat karena menurut pemerintah yang berlaku hanyalah hukum positif yang dikeluarkan oleh negara walaupun bidang yang diatur tersebut telah menjadi domain masyarakat adat selama ratusan tahun, dalam bidang kehutanan, pertanahan, kearifan tradisional, dan sebagainya.


Momentum yang paling melukai hak-hak masyarakat adat tersebut terjadi selama hampir 30 tahun sampai kemudian muncul Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan ruang bernapas bagi masyarakat adat untuk kembali ke sistem pemerintahannya sendiri dalam kerangka NKRI. Namun, hal tersebut bukan berarti kemudian memecahkan semua masalah yang ada. Walaupun secara normatif negara telah mengakui eksistensi masyarakat adat, kenyataannya hak-hak masyarakat adat masih saja dipinggirkan untuk kepentingan politik dan ekonomi penguasa. Bahkan Undang-Undang Dasar 1945 amendemen keempat menyebutkan negara hanya mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.


Dengan telah disahkannya deklarasi tersebut, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak secara penuh memberikan tempat yang semestinya bagi masyarakat adat untuk berkembang dan meningkatkan taraf hidupnya, baik secara kolektif maupun individu, dalam naungan NKRI. Terlebih Indonesia termasuk negara anggota Dewan HAM PBB yang ikut menyetujui pengesahan deklarasi tersebut.


Deklarasi tersebut membebankan kewajiban bagi negara untuk mendapatkan kesepahaman dan diketahui masyarakat adat sebelum mengadopsi dan mengimplementasikan hukum atau aturan administrasi yang bisa berdampak pada kehidupan masyarakat adat. Juga melakukan penilaian untuk meyakinkan bahwa masyarakat adat anak-anak dan perempuan menikmati perlindungan penuh dan jaminan atas segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, memberikan pengakuan hukum dan perlindungan terhadap tanah ulayat dan sumber daya untuk menghormati kebiasaan, tradisi, dan sistem penguasaan tanah yang sesuai dengan masyarakat adat, melakukan konsultasi secara efektif tentang hal-hal yang terkait dengan masyarakat adat melalui prosedur yang tepat dan melalui lembaga perwakilan, dan melakukan konsultasi dan kerja sama dengan masyarakat adat untuk melakukan penilaian yang tepat, termasuk kinerja legislatif, untuk mencapai tujuan deklarasi.


Walaupun tidak mengikat secara hukum (non-binding), deklarasi tersebut menjadi sangat strategis sebagai landasan normatif, moral, dan semangat (spirit) bagi pemerintah serta kalangan pejuang hak-hak masyarakat adat dalam mempromosikan, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi masyarakat adat, baik dalam ranah hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya.