Tuesday, October 31, 2006

Bencana Ekologi dan Hak atas Lingkungan Hidup

Bencana Ekologi dan Hak atas Lingkungan Hidup

Mimin Dwi Hartono

Bencana buatan manusia (man-made disaster) atau bencana ekologi seperti banjir, tanah longsor, dan pencemaran seakan tiada bosan menghantam dan menghajar masyarakat Indonesia pada 2006 ini. Intensitas bencana semakin meningkat, baik dari sisi dampak material maupun korban jiwa, dari bencana di Jember, Banjarnegara, Aceh Tenggara, Papua, Sidoarjo, Sulawesi Selatan, Gorontalo, sampai Kalimantan Selatan. Untuk tipe bencana yang bisa dicegah kejadiannya atau direduksi risikonya, pemerintah punya kewajiban melakukan pengelolaan bencana (disaster management) sehingga dapat menjamin hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.


Dampak lingkungan hidup punya karakteristik berdimensi jangka panjang. Bencana yang muncul sekarang adalah puncak gunung es dari gagalnya pengelolaan lingkungan hidup di Tanah Air yang sudah berlangsung lebih dari 30 tahun. Ancaman yang terpendam atau laten masih sangat besar berpotensi menjadi bencana jika akar permasalahan penyebab bencana tidak diatasi dengan segera dan komprehensif. Upaya menemukan dan mengatasi akar masalah tersebut akan sangat kompleks karena bencana sekarang adalah buah dari proses panjang yang melibatkan pemerintah yang lalu.


Memang perbedaan antara bencana alami dan buatan manusia semakin tipis, seiring dengan meningkatnya populasi penduduk dan pembangunan yang sangat pesat pada beberapa dekade ini. Misalnya bencana gempa bumi di Yogya dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006. Bencana alam tersebut menimbulkan korban jiwa yang sangat besar karena ada faktor kesalahan manusia, yaitu konstruksi bangunan yang tidak tahan gempa dan kurangnya sosialisasi pemerintah tentang kawasan rawan gempa terhadap masyarakat.


Manusia, dengan keangkuhan teknologi dan nafsu ekonominya, telah menghancurkan hutan untuk menjarah kayunya, menambang isi perut bumi tanpa kendali, menjadikan sungai sebagai saluran limbah tailing, merusak daerah aliran sungai untuk membangun permukiman, dan sebagainya. Hal tersebut telah mengakibatkan guncangnya keseimbangan ekologi (ecology disequilibrium), ketika kemampuan dan daya dukung ekologi sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan (baca: keserakahan) manusia, sehingga alam menjadi sangat rentan dan seakan-akan menjadi ancaman bagi manusia.


Ketidakseimbangan ekologi tersebut mulai terjadi pada 1980-an akibat pembangunan propertumbuhan ekonomi yang eksploitatif terhadap sumber daya. Walaupun sempat dijuluki sebagai Macan Asia dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, Indonesia akhirnya kembali terpuruk sejak krisis ekonomi 1998. Pembangunan yang menjadikan ekonomi sebagai panglima telah menempatkan sumber daya alam sebagai "sapi perahan" untuk memasok input pembangunan guna menggerakkan roda-roda pabrik di atas puing-puing kerusakan lingkungan alam.


Perspektif pembangunan ini telah berlangsung selama lebih dari 30 tahun dan harus dibayar mahal oleh generasi saat ini dan mendatang. Pada 2005, setiap menit, hutan alam seluas 60 kali lapangan sepak bola musnah dari bumi Indonesia akibat penebangan kayu, pembakaran hutan, dan alih fungsi hutan, misalnya untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan permukiman. Pada 2000, Bank Dunia memprediksi hutan alam di Pulau Sumatera dan Kalimantan akan punah pada 2010-2015 jika tidak ada tindakan pencegahan dan penanganan pelestarian hutan serta penegakan hukum yang baik.


Untuk itu, bencana ekologi haruslah dilihat sebagai muara dari benang kusut dan karut-marutnya pembangunan yang proekonomi dan menafikan hak asasi manusia. Upaya mengatasi bencana harus dimulai dari hulunya, yaitu dengan menjawab apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana bencana tersebut bisa terjadi. Namun, anehnya, pemerintah dan juga kita seakan tidak pernah mengambil hikmah dari bencana yang terjadi karena setiap bencana yang datang hanya diatasi dengan pola karikatif dan pemberian bantuan tanpa diikuti dengan upaya mengatasi persoalan yang sesungguhnya. Penyebab bencana bisa berupa persoalan struktural, yaitu kebijakan, ataupun kultural, misalnya kemiskinan, ketidakberdayaan masyarakat, dan kesenjangan sosial.


Negara adalah pengemban amanat dalam konstitusi sebagai pihak yang menguasai (baca: mengontrol dan mengatur) kekayaan alam untuk dipergunakan bagi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dan pengaturannya ditentukan oleh pemerintah dengan partisipasi penuh masyarakat. Untuk itu, negara harus berperan secara lebih sinergis dalam memobilisasi sumber daya bangsa untuk tidak lagi bermain-main dan mempermainkan alam, walaupun sudah terlambat. Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ini karena alam mempunyai "ruang" hak asasi untuk mengharmonisasi dan memulihkan dirinya, dan "ruang" ini berada di luar kuasa manusia dan negara.


Sekitar 85 persen wilayah Indonesia adalah kawasan rawan bencana dan hal tersebut bertambah rentan akibat dari bencana buatan manusia. Ancaman dan kerentanan tersebut akan menjadi bencana yang sangat dahsyat dan yang paling banyak menderita karenanya adalah masyarakat miskin, kaum wanita, anak-anak, orang tua, dan penyandang cacat. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi warga negaranya dari segala bencana buatan manusia yang dapat membahayakan hidup dan sumber penghidupannya. Ini adalah amanat konstitusi negara, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, yang dikuatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia.

Hak Asasi Lingkungan Hidup

Hak Asasi Lingkungan Hidup

Mimin Dwi Hartono


Keterkaitan yang erat dan tidak terpisahkan antara hak asasi manusia, kelestarian lingkungan hidup, pembangunan, dan perdamaian setidaknya sudah lebih dari tiga dasawarsa ini diakui oleh negara-negara di dunia. Pembangunan yang seutuhnya hanya tercapai dalam suasana yang damai dan dalam kondisi lingkungan hidup yang terjaga, sehingga pada gilirannya akan menciptakan sebuah kondisi yang kondusif bagi penghormatan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Peringatan Hari Lingkungan Hidup sedunia setiap 5 Juni dapat kita manfaatkan sebagai titik waktu untuk berkonsolidasi dan berefleksi sejauh mana efektivitas gerakan lingkungan hidup yang berjalan selama ini.

Kenyataan menunjukkan lingkungan hidup semakin rusak oleh ulah manusia. Lingkungan diposisikan sebagai obyek eksploitasi: menambang perut bumi tanpa kontrol, menggunduli hutan tanpa kompromi, mencemari air tanpa kendali, dan tindakan sewenang-wenang lainnya. Padahal lingkungan pun punya hak-hak untuk bernaturalisasi dan berevolusi, yang merupakan kodrat alam yang tidak bisa dicegah oleh manusia. Pelanggaran terhadap hak asasi lingkungan hidup tersebut mengakibatkan bencana, baik alami maupun buatan manusia, dan telah mengorbankan jutaan nyawa manusia. Perusakan lingkungan hidup oleh segelintir orang atau perusahaan telah menyebabkan penderitaan dan pelanggaran HAM terhadap bagian terbesar manusia lainnya.

Penghormatan atas hak asasi lingkungan hidup menjadi aspek yang sangat penting dan mendasar bahwa lingkungan pun mempunyai segala keterbatasan, sehingga kontrol atas perilaku manusia atas lingkungan menjadi mutlak adanya. Kontrol tersebut salah satunya melalui instrumen, mekanisme, dan kebijakan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional, untuk mencapai keseimbangan yang disebut sebagai pembangunan yang berkelanjutan.

Dengan memberikan perlindungan atas hak asasi lingkungan hidup, akan bisa dibangun hubungan yang mutualistis dan toleran antara manusia dan lingkungan bahwa keduanya saling membutuhkan dan bergantung satu sama lain.

Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Manusia di Stockholm, Swedia, pada 1972, yang mencetuskan Deklarasi Stockholm, merupakan pijakan awal dari kesadaran komunitas internasional akan pentingnya keberlanjutan lingkungan hidup sebagai bagian mendasar bagi pemenuhan HAM. Kualitas lingkungan hidup yang baik tidak bisa dijaga tanpa penghormatan atas HAM, dan HAM tidak bisa diperoleh tanpa lingkungan hidup yang baik dan aman. Penghormatan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan HAM sangat bergantung pada lingkungan hidup yang sehat dan layak huni. Dalam sebuah ekosistem yang rusak, tidak mungkin atau hampir mustahil menikmati serta memperoleh hak untuk hidup, kesehatan, keamanan, kecukupan pangan, dan budaya.

Draf deklarasi "Prinsip-prinsip HAM dan Lingkungan Hidup" yang dibuat atas inisiatif Pelapor Khusus HAM dan Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa, Fatma Zohra Ksentini, di Jenewa, Swiss, pada 1994, merupakan instrumen internasional pertama yang secara komprehensif mengaitkan HAM dan lingkungan hidup. Keterkaitan tersebut termanifestasikan dalam hak asasi lingkungan hidup untuk mewujudkan lingkungan yang lestari, sehat, dan aman bagi semua orang tanpa kecuali. Disebutkan juga hak-hak prosedural, yaitu hak untuk berpartisipasi dan hak atas pembangunan, sebagai prasyarat utama terpenuhinya hak asasi lingkungan hidup.

Pola pembangunan masif yang berbasiskan penggunaan sumber daya alam secara eksploitatif oleh sebagian kecil orang atau perusahaan di negara maju telah menyebabkan kerugian dan pelanggaran HAM bagi sebagian besar umat manusia yang hidup di negara miskin dan berkembang yang ada di Benua Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Menurut data jejak ekologi yang dikeluarkan oleh Ecological Footprint Network, sejak 1961 telah terjadi defisit ekologi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, di mana kebutuhan atau kerakusan manusia atas sumber daya ekologi sudah melebih batas kemampuan bumi untuk memenuhinya. Konsumsi ekologi yang paling besar dilakukan oleh masyarakat negara maju, seperti Amerika dan Eropa, yakni konsumsi energi, hutan, air, pangan, dan sebagainya. Ketika sumber daya ekologi di negara sendiri sudah menipis dan habis, terjadilah penjajahan ekologi, seperti yang terjadi saat ini, melalui penambangan, penebangan kayu di hutan alam, dan relokasi industri berskala besar di negara berkembang yang masih surplus ekologi.

Laju pelanggaran HAM melaju seiring dengan laju perusakan lingkungan hidup, sehingga dibutuhkan sebuah gerakan yang sinergis dan sistematis yang mengintegrasikan gerakan lingkungan sebagai gerakan hak asasi manusia. Di samping itu, pendekatan lingkungan tidak bisa secara sektoral dan administratif semata, karena aspek dan dimensi lingkungan hidup telah melewati batas-batas politik dan tidak bisa diselesaikan dalam tingkatan negara, sehingga dibutuhkan kerja sama internasional yang lebih radikal.

Kekuatan neoliberal adalah salah satu tantangan terbesar gerakan lingkungan dan HAM. Kekuatan neoliberal telah menyebabkan semakin rentannya aspek perlindungan, pemenuhan, dan penegakan HAM, khususnya bagi kelompok rentan dan minoritas, karena hanya mengejar keuntungan ekonomi semata. Mazhab neoliberal yang merambah komoditas publik telah menggeser fungsi sosial komoditas publik menjadi komoditas ekonomi semata, dan akhirnya memposisikan lingkungan hidup sebagai barang komersial yang bisa dikuasai oleh segelintir orang dengan menafikan kepentingan serta hak asasi manusia dan hak asasi lingkungan hidup.

Sudah saatnya gerakan penyelamatan dan perlindungan lingkungan berperspektif HAM. Demikian pula sebaliknya. Lingkungan hidup juga harus ditempatkan sebagai subyek dinamis dari gerakan bahwa lingkungan pun mempunyai hak asasi seperti halnya manusia. Dengan demikian, gerakan HAM dan lingkungan akan lebih membumi dan melibatkan masyarakat secara masif. Rakyat sebagai korban harus menyatukan diri dengan lingkungan. Sebab, rakyatlah, khususnya kelompok rentan, minoritas, dan kaum miskin, yang menjadi korban pertama dan terberat dari konsekuensi pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan hidup

Memenuhi Hak Asasi Pengungsi Merapi

Memenuhi Hak Asasi Pengungsi Merapi

Mimin Dwi Hartono


Kenaikan status Gunung Merapi seiring dengan aktivitas vulkanik yang meningkat telah diikuti dengan tindakan pemerintah setempat mengevakuasi dini warga yang bermukim di kawasan rawan bencana. Prioritas pertama dilakukan terhadap wanita, anak-anak, dan orang yang berusia lanjut. Namun, evakuasi yang dijalankan belum efektif terlaksana karena terkendala hal teknis terkait dengan kelayakan tempat pengungsian dan fasilitasnya yang banyak dikeluhkan oleh pengungsi. Akibatnya banyak pengungsi yang memutuskan kembali ke rumah mereka karena merasa tidak nyaman dan mengalami stres di kamp pengungsian.


Sudah ada standar pengungsian yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menjamin hak asasi para pengungsi, yaitu Prinsip-prinsip Panduan bagi Pengungsi Internal. Dalam prinsip tersebut pengungsi disebut juga sebagai internally displaced person (IDPs), yang didefinisikan sebagai orang-orang atau kelompok orang yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah mereka atau tempat mereka dulu biasa tinggal. Terutama sebagai akibat dari, atau dalam rangka menghindarkan diri dari dampak-dampak konflik bersenjata, situasi-situasi rawan yang ditandai oleh maraknya tindak kekerasan secara umum, pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia, bencana-bencana alam, atau bencana-bencana akibat ulah manusia, dan yang tidak melintasi perbatasan negara yang diakui secara internasional.


Prinsip-prinsip tersebut mengidentifikasi hak-hak dan jaminan-jaminan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap orang-orang dari paksaan untuk mengungsi, perlindungan dan bantuan terhadap mereka selama masa pengungsian, serta perlindungan dan bantuan selama mereka pulang kembali atau selama proses permukiman di tempat lain, dan selama proses reintegrasi dengan masyarakat pada masa pascapengungsian.


Sering kali hak-hak para pengungsi secara sengaja ataupun tidak sengaja diabaikan karena kompleksnya permasalahan yang ada di lapangan. Hal ini sudah terjadi terhadap pengungsi Merapi, antara lain keluhan atas fasilitas mandi dan mencuci, kesehatan, dan ruang pengungsian yang kurang layak. Juga masih lekatnya anggapan dan perlakuan terhadap pengungsi sebagai obyek bencana, sehingga mereka sangat jarang diikutsertakan dalam pengambilan keputusan terhadap dirinya ataupun dalam pengelolaan tempat pengungsian dan logistik.


Wanita, anak-anak, orang yang berusia lanjut, ataupun orang cacat adalah kelompok yang harus diperhatikan secara khusus dalam masa pengungsian. Hal ini karena rawannya pelanggaran terhadap hak asasi mereka selama tinggal di pengungsian, misalnya, pelecehan seksual, diskriminasi, dan pembatasan akses. Dengan demikian, sangat penting pemerintah menjamin perlindungan atas diri mereka dan memberi kesempatan bagi mereka untuk berpartisipasi dalam mengelola tempat dan sarana pengungsian sehingga mampu memenuhi dan melindungi hak asasi mereka. Hal ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 41 ayat 2: "Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus".


Prinsip pertama dalam panduan tersebut menyatakan bahwa "para pengungsi internal memiliki, dalam kesetaraan penuh, hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang dijamin oleh hukum internasional dan nasional, sama seperti orang-orang lain di negeri mereka. Mereka tidak boleh didiskriminasi secara merugikan dalam memperoleh hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang mana pun dengan alasan bahwa mereka adalah pengungsi internal".


Dari prinsip tersebut jelas bahwa alasan menjadi pengungsi bukan berarti bahwa hak-haknya bisa didiskriminasikan, misalnya oleh pemerintah atau siapa pun. Pemerintah sebagai koordinator masalah pengungsian harus mengusahakan sebuah kondisi dan tempat pengungsian yang layak sesuai dengan standar kehidupan mereka dan mampu memenuhi hak-hak pengungsi. Misalnya hak atas kesehatan, hak wanita, hak anak-anak, hak atas pangan, ataupun hak atas pendidikan. Jangan sampai kekurangan dalam peristiwa pengelolaan pengungsi pada bencana Merapi 1994 dan 1997 terulang kembali, yaitu logistik bagi pengungsi yang sangat tidak layak. Contohnya, beras yang tidak layak dikonsumsi ataupun banyaknya bantuan dari luar berupa makanan yang tidak terdistribusikan dan akhirnya membusuk di gudang logistik. Semestinya logistik didistribusikan dan dikelola secara terencana dan partisipatif, jangan sampai tersentralisasi pada pihak tertentu saja.


Kemudian prinsip kedelapan menyatakan bahwa "pengungsian internal tidak boleh dilaksanakan dengan cara-cara yang melanggar hak untuk hidup dari mereka yang terkena, martabat mereka, serta kebebasan dan keamanan mereka". Hal ini berarti bahwa cara-cara mengevakuasi harus dilakukan dengan cara yang santun dan elegan. Jangan sampai ada tindakan pemaksaan dan intimidasi dengan tujuan memaksa seseorang atau sekelompok orang untuk mengungsi. Apabila ini terjadi, berarti telah terjadi pelanggaran terhadap hak atas rasa aman dan hak untuk hidup, yang dilindungi dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 9 ayat 1: "Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya" dan ayat 2: "Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin".


Prinsip ke-18 menyatakan bahwa "semua pengungsi internal memiliki hak atas standar penghidupan yang layak. Paling sedikit, dalam keadaan apa pun, dan tanpa diskriminasi, pihak-pihak berwenang yang terkait harus menyediakan bagi para pengungsi internal, dan memastikan akses yang aman kepada bahan pangan pokok dan air bersih; tempat bernaung atau perumahan yang bersifat mendasar; bahan sandang yang layak; dan layanan kesehatan dan sanitasi yang penting. Dan harus dilaksanakan upaya-upaya khusus untuk memastikan adanya peran serta penuh kaum perempuan dalam perencanaan dan pembagian pasokan-pasokan pokok tersebut".


Lalu prinsip ke-22 berisi, pertama, para pengungsi internal, yang tinggal di dalam kamp ataupun tidak, tidak boleh didiskriminasi secara merugikan, sebagai akibat dari pengungsian mereka, dalam hal mendapatkan hak-hak, antara lain hak-hak atas kemerdekaan pikiran, hati nurani, agama atau kepercayaan, pendapat, dan ekspresi; hak untuk mencari dengan bebas kesempatan kerja dan untuk berperan serta dalam kegiatan-kegiatan ekonomi; hak untuk berserikat dengan bebas dan berperan serta, dengan posisi setara, dalam urusan-urusan komunitas; hak untuk memilih dan untuk berperan serta dalam urusan-urusan pemerintahan dan publik, termasuk hak untuk mempunyai akses terhadap sarana-sarana yang diperlukan untuk mewujudkan hak ini; dan hak untuk berkomunikasi dalam bahasa yang mereka pahami.


Prinsip-prinsip tersebut sangat bermanfaat bagi berbagai pihak, khususnya bagi pemerintah dan sukarelawan, sebagai standar setting dalam mengelola tempat pengungsian yang mampu menjamin, melindungi, dan memenuhi hak asasi pengungsi. Hal ini akan berhasil bila paradigma yang dipakai adalah menempatkan pengungsi sebagai subyek dalam pengelolaan bencana, termasuk dalam mengelola tempat pengungsian.

Monday, October 30, 2006

Merapi dan Kovenan Hak Ekosob

MERAPI, PASCARATIFIKASI KOVENAN HAK EKOSOB

Oleh Mimin Dwi Hartono

Bulan September 2005, Indonesia telah secara resmi meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya atau Kovenan Hak Ekosob Perserikatan Bangsa-Bangsa, setelah sekian tahun kalangan organisasi non-pemerintah mendesakkan hal tersebut.

Lantas, bagaimana implementasi dari kovenan tersebut untuk melindungi Hak Ekosob sekitar masyarakat Merapi pascapenunjukan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)? Dengan telah meratifikasi Kovenan Hak Ekosob, pemerintah telah mengakui dan harus patuh untuk melaksanakan isi kovenan tersebut, karena telah mengikat secara hukum internasional. Apabila pemerintah lalai atau tidak konsisten menjalankan isi dari kovenan tersebut, maka PBB, baik dengan inisiatif sendiri berdasarkan investigasi lapangan maupun berdasarkan laporan dari masyarakat, mempunyai hak untuk memperingatkan dan menjatuhkan sanksi bagi pemerintah.

Prinsip dan substansi Kovenan Hak Ekosob adalah mewajibkan negara untuk secara aktif dan bertanggung jawab memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negaranya.

Pemenuhan hak tersebut salah satunya adalah kewajiban bagi negara untuk melindungi dan menjamin hak masyarakat lokal atas akses, kontrol, dan pengelolaan aset-aset penghidupan secara lestari dan berkelanjutan. Dalam konteks kasus TNGM, menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk melindungi dan menjamin hak masyarakat lokal dalam mengakses, mengontrol, dan mengelola sumber daya alam kawasan Gunung Merapi.

Hak Ekosob yang semestinya dilindungi dan dijamin oleh pemerintah untuk masyarakat lokal Merapi adalah hak untuk mengelola sumber daya alam di hutan, baik berupa kayu maupun nonkayu, hak untuk memanfaatkan hasil hutan yang langsung, misalnya adalah merumput, memanfaatkan tanaman obat, dan ranting kayu bakar, maupun yang tidak langsung, misalnya akses atas air untuk kebutuhan keseharian dan menjaga hutan sebagai pencegah longsor serta banjir yang jika lalai dijaga akan membahayakan penghidupan masyarakat.

Namun, proyek TNGM telah menjadi ancaman nyata bagi pemenuhan Hak Ekosob untuk masyarakat lokal Merapi. Telah beredarnya peta zonasi yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan pada Agustus 2005, yang secara jelas Hak Ekosob masyarakat lokal dipangkas habis. Masyarakat hanya diberikan hak akses sejauh 100 meter dari batas luar hutan, untuk merumput, mengambil tanaman obat, maupun ranting kayu bakar di hutan.

Masyarakat juga dilarang untuk memanfaatkan pasir dari alam, namun pengusaha besar diberikan zona penambangan tersendiri. Makam Syeh Jumadil Qubro di puncak Gunung Turgo, yang pada malam-malam tertentu dikunjungi ratusan peziarah juga akan terlarang untuk dimasuki, karena masuk dalam zona inti.

Namun di sisi lain, aktivitas penambangan pasir untuk perusahaan besar terus dibiarkan dan diberikan zona tersendiri yang sangat luas di kawasan Magelang.

Sebelum menjadi taman nasional, nilai dan fungsi kawasan Gunung Merapi lebih banyak mendukung mata pencaharian dan penghidupan keseharian masyarakat lokal, yang disebut dengan nilai guna konsumsi langsung, atau dalam bahasa sederhana disebut hak akses dan kontrol masyarakat atas kawasan.

Secara jelas, bertahap, dan pasti, akan terjadi penggeseran penguasaan aset-aset penghidupan dari yang berbasis komunitas dan penguasaan yang terdistribusi ke penguasaan yang berbasis pada sumber daya kapital dan politik yang tersentralisasi. Peran-peran masyarakat lokal akan semakin termarjinalkan, dimulai dengan dibatasinya hak akses dan kontrol atas hutan Merapi sampai kemudian akan tergusur secara ekonomi karena tidak akan mampu bersaing dengan kekuatan modal dan politik sehingga menjadi penonton di tanah sendiri, misalnya dengan menjadi pekerja pariwisata maupun buruh tani.

Pada era Millenium ini, desakan dari kekuatan pemodal nasional maupun internasional atas kawasan-kawasan yang kaya akan aset-aset penghidupan, seperti halnya kawasan Gunung Merapi, akan semakin kuat dan ganas. Setelah hutan di Indonesia habis kayunya karena dijarah oleh bisnis mafia penebangan dan perdagangan kayu nasional maupun internasional, kekuatan kapital internasional berkongsi dengan aktor politik lokal-nasional mencari lahan baru yang bisa dieksploitasi dari hutan.

Caranya adalah dengan mengonsesikan hutan untuk perdagangan karbon, bisnis air, dan pembangunan bisnis pariwisata skala besar berupa pembangunan resort dengan segala fasilitasnya yang padat modal. Salah satu cara untuk mencapai tujuan para penyembah uang tersebut adalah dengan membuat taman nasional.

Apa yang disampaikan diatas bukan khayalan atau fobia. Namun, secara empiris dan riil sudah banyak terjadi di taman nasional di seantero Indonesia. Taman nasional datang: kayu habis ditebang, tanaman obat berkhasiat dipatenkan, fauna endemik punah, masyarakat semakin miskin, dan kejadian buruk lainnya. Tentu saja kejadiannya tidak akan serta-merta, tetapi akan terjadi dalam rentang waktu yang beragam, antara 5-10 tahun kemudian, setelah ada taman nasional.

Pendukung baru

Dengan telah diratifikasinya kovenan tersebut, masyarakat lokal Merapi mempunyai kekuatan pendukung baru untuk melindungi hak- hak mereka, sehingga nasib buruk yang menimpa masyarakat lokal korban taman nasional tidak terjadi pada mereka. Hal ini karena sejak 2004, masyarakat sepertinya sudah kehilangan asa pada pemerintah, yang seakan tidak peduli bahkan meremehkan hak masyarakat Merapi.

Namun, masyarakat lokal masih sangat berharap pada pemerintah, yang presiden dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat, untuk menjadi pembela hak-hak mereka dari sergapan dan keserakahan agen- agen globalisasi yang tidak mengenal belas kasihan. Apabila harapan pada pemerintah pun kandas, toh masyarakat bisa meminta bantuan PBB untuk melindungi hak-hak mereka atas kawasan Gunung Merapi.

Itulah salah satu manfaat kovenan, pembelaan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat lokal tidak lagi hanya menjadi domain pemerintah saja, namun sudah menjadi domain komunitas internasional yang diwakili oleh PBB.

(Kompas, 13 Februari 2006)

Hak Asasi Korban Lumpur Lapindo

Hak Asasi Korban Lumpur Lapindo

Mimin Dwi Hartono

Dampak lumpur akibat eksplorasi PT Lapindo Brantas Sidoardjo semakin meluas. Bahkan menurut ahli geologi, Andang Bachtiar, lumpur tidak bisa dihentikan karena masuk dalam kategori gunung lumpur yang hanya bisa dihentikan sendiri oleh alam (Kompas, 8/9). Jika analisis tersebut benar, maka skenario paling buruk harus disiapkan, mengingat dampak bagi manusia dan alam dipastikan akan semakin besar, khususnya bagi perlindungan hak asasi manusia korban lumpur yang sudah mencapai angka puluhan ribu.

Walaupun kasus ini menjadi tanggung jawab pihak Lapindo dan korporasi yang terkait dengannya, namun karena dampak bagi hak asasi manusia dan lingkungan yang sudah sedemikian besarnya, maka peran pemerintah harus lebih nyata dan sigap. Seperti biasa, keterlambatan respons pemerintah nampak dengan baru dibentuknya tim terpadu di bawah koordinasi menteri pekerjaan umum pada Rabu (6/9) yang lalu.

Dalam tempo lebih dari 100 hari, lumpur telah mengubah sebagian wajah Sidoarjo sebagai kawasan industri menjadi kawasan berlumpur, yang tidak layak lagi untuk dihuni, dibudidayakan, untuk proses produksi bagi industri maupun aktivitas lainnya. Ribuan masyarakat telah kehilangan tempat tinggal, puluhan sekolah dasar tenggelam, pabrik-pabrik bertumbangan, lahan pertanian mengalami gagal tanam dan panen, dan sebagainya. Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat telah tercerabut sebagai akibatnya.

Tragedi lumpur Lapindo semakin menambah buram rentetan pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak-hak dasar lainnya. Khususnya bagi kelompok khusus, yaitu anak-anak, perempuan, manusia lanjut usia, penyandang cacat, dan lainnya, oleh korporasi penambangan di Nusantara. Bagaimana dengan nasib dan masa depan ribuan pekerja yang kehilangan lapangan kerja, ribuan petani yang ladang pertaniannya musnah, ribuan anak yang kehilangan hak atas pendidikannya, ribuan orang yang dilanda kecemasan dan ketakutan setiap detiknya. Ini adalah pekerjaan besar yang harus dipecahkan oleh pemerintah.

Tragedi ini merupakan sebuah peristiwa yang harus dibayar sangat mahal oleh masyarakat, mereka yang selama ini bisa dikatakan tidak mendapatkan keuntungan dari adanya pertambangan di wilayah mereka. Namun ketika resiko pertambangan muncul, merekalah yang akan pertama kali dan paling besar terkena dampaknya. Masa depan hidup dan sumber penghidupan belasan ribu manusia telah direngut. Mereka mengalami kegamangan menatap masa depannya. Kehilangan rumah, tanah, dan terpisah dari keluarga dan leluhur merupakan bentuk kehilangan identitas diri dan budaya yang tidak bisa dilupakan dan diganti begitu saja.

Relokasi masyarakat ke tempat yang baru apalagi yang tidak sesuai dengan ekosistem asal akan menimbulkan rumitnya persoalan. Mereka dituntut beradaptasi dan berakulturasi dengan masyarakat yang telah ada di sekitar wilayah relokasi tersebut dengan potensi sumber daya alam yang berbeda dengan daerah asal.

Persoalan keselamatan manusia dan kelestarian lingkungan alam adalah sama-sama penting, karena keduanya menjadi penunjang satu sama lain. Keselamatan penduduk adalah hal yang urgen dan mendesak untuk segera dilakukan, sedangkan persoalan lingkungan hidup berdimensi jangka panjang, penuh ketidakpastian, dan rawan memicu konflik sosial. Di sinilah kebijakan dari pemerintah dan tanggung jawab pihak PT Lapindo diuji untuk mencari penyelesaian yang terbaik, khususnya bagi perlindungan hak asasi manusia dan menekan dampak yang paling minimal bagilingkungan hidup.

Melindungi hak
Masyarakat selalu menjadi korban ketika kejadian bencana sudah terjadi. Demikian pula yang sekarang terjadi. Hal ini karena masyarakat senantiasa masih dimarginalkan dalam perumusan kebijakan yang sebenarnya sangat menyangkut kepentingan masa depan serta kehidupannya. Padahal konsesi calon pertambangan maupun yang sudah jalan menurut data Walhi di Pulau Jawa saja ada 42 blok, belum lagi di luar Jawa. Padahal. Pulau Jawa adalah kawasan kehidupan yang terpadat juga paling rentan oleh bencana. Jumlah penduduk di sekitar blok-blok penambangan di Pulau Jawa mencapai sekitar 62 juta jiwa dari total sekitar 130 juta penduduk di Pulau Jawa.

Untuk kejadian lumpur Lapindo, pemerintah harus mengkoordinasikan dengan cepat dan sigap guna melindungi dan memenuhi hak asasi manusia, terutama hak-hak dasar yang masih saja terbengkalai, padahal bencana sudah terjadi lebih dari 100 hari. Apabila hak dasar tidak segera dipenuhi, dikhawatirkan akan terjadi bencana yang lebih besar, menuju pada lost of generations di Sidoardjo.

Sedangkan ke depan, pemerintah dan pihak korporasi pertambangan harus menetapkan early warning system. Mereka wajib memetakan di mana saja lokasi eksplorasi penambangan yang padat penduduk, memperhitungkan dampak dan kerawanan yang mungkin timbul akibat dari aktivitas penambangan tersebut. Mereka juga harus menyusun strategi mitigasi bencana yang komprehensif yang berbasis pada perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Harus ada jarak yang aman antara permukiman dan lokasi eksploitasi, jika kasus Lapindo tidak ingin terulang lagi.

Korporasi pertambangan harus dan wajib menyusun skenario usaha pertambangan yang environment and human rights friendly, baik bagi kegiatan pertambangan yang sudah jalan terlebih bagi yang akan berjalan. Pemerintah harus bersikap transparan dengan memberikan penjelasan kepada masyarakat di mana wilayah-wilayah yang telah dan akan dieksplorasi dan dieksploitasi. Masyarakat mempunyai hak atas informasi dan hak atas pembangunan dalam rangka melindungi hak asasinya.

Last but note the least, hak atas keadilan bagi para korban harus ditegakkan. Para penegak hukum harus memberikan kepastian dengan membuktikan pada publik bahwa proses penegakan hukum terhadap kasus ini berjalan dengan konsisten dan tegas. Dengan demikian mampu menjadi efek jera bagi siapapun sehingga kejadian serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

(Republika, 12 September 2006)

Dilema Penambangan Pasir di Merapi

Dilemma caused by sand quarrying at Mt. Merapi

Mimin Dwi Hartono / Yogyakarta

It was 1 p.m. in Boyong hamlet, Hargobinangun village, Pakem subdistrict, Sleman, at the foot of Mount Merapi . The sun shone very brightly, while the heat was at its peak. Sunarto, 63, a Boyong villager, paused for a while from digging sand in his yard with a shovel. Taking a deep breath, he wiped the sweat from his wrinkled face before sitting next to his shovel on the ground. "I'm forced to do this because I have no other way to support my family," Sunarto said. Although quarrying sand on personal property has been banned by the village administration for some time because of the environmental damage that the activity can cause, many of the villagers there, including Sunarto, continue to do it, mostly for financial reasons.

Sunarto, for example, has been quarrying sand on his 600 square meter plot for three years, attracted mainly by the quick returns that he can gain. From sand extraction, Sunarto can earn Rp 35,000 per truck, which would normally take two to three days to load. With a truck of sand every three days, he has been able to earn some Rp 4.2 million a year, or nearly Rp 13 million over three years. That has enabled him to send his children to high school and, most importantly, helped him support his family. The activity, however, has left his land with craters that are 10 meters to 20 meters deep. The trees on it have fallen over. The same thing has also occurred on neighboring properties. Sunarto, and others, though, say that they do not regret their decision. "I'm glad we extracted it ourselves instead of selling the land; we earned money from it while at the same time retaining ownership of the land," Sunarto said.

Hargobinangun is not the only village on the southern slopes of the volcano where sand quarrying is rampant. Other villages, such as Umbulharjo, Purwobinangun, and Wonokerto face exactly the same problem. In Boyong alone, there are at least 52 places where sand is quarried on private land, ranging from hundreds to thousands of square meters, while in Umbulharjo there are some 35 spots. Sand quarrying is a complex problem in which the wider concern to preserve the environment is in direct opposition to people's individual concern to earn money to cover their basic needs. So critical is the problem that such activities often incite conflict between local communities that are concerned about the environment and property owners as well as quarry workers.

What happened last April near the Boyong River is an example. Dozens of people from the neighboring village of West Kaliurang staged a demonstration, demanding that workers stop quarrying immediately because it had damaged the riverbank that directly borders West Kaliurang . West Kaliurang villagers were concerned because the riverbank was only 50 meters away from people's houses. Consequently, Hargobinangun village head Mulyono asked the owners of the 52 quarrying spots to halt their activities. He also promised to seek better alternatives for them to make a living. Still, some ignored his request. "We have yet to arrive at an acceptable solution," explained Supar, a villager who wished to continue.

The dangers of uncontrolled quarrying are quite apparent to all. Although most use only manual equipment like shovel or crowbars, they can dig to a depth of 20 meters. Moreover, as many of the quarrying sites are also within housing complexes, some houses are also prone to subsidence because the edge of the digging site is sometimes only five meters away from the buildings. That excludes countless trees that have fallen due to the activities. The most tragic occurrence was some three years ago, when a landslide buried Dalinem, a housewife, alive while she was quarrying sand on her land. According to Boyong village chief Sokimun, 63, quarrying in his area started in 1990. Yet, he said, he felt unable to tell people to stop because they were on their own property. "I feel uneasy about it," Sokimun said. However, he added, the most difficult thing was that no viable alternative had been identified. All he could do was to persuade locals not to use machinery.

A recent solution, eventually, came from the Hargobinangun administration and Sleman regental mining office. They offered loans for people to buy dairy cows, with a repayment period of up to four years. The regental forestry and agriculture office, similarly, has also offered villagers rolling funds to buy sheep to breed. Take-up has been patchy, though, especially for loans to buy dairy cows that offer an interest rate of 12 percent a year, as the rate is perceived as too high. Sheep breeding, similarly, is unattractive, as it cannot provide a quick return. It seems that the local authorities have much to do; they must persuade locals to halt their environmentally damaging activities, and make them realize that, in the long term, damage to the environment is much more costly than the value of the sand they could quarry.

The Jakarta Post, 17 Mei 2005

Merapi Disaster Handing Neglects Local Wisdom

Merapi disaster handling neglects local wisdom

Mimin Dwi Hartono, Yogyakarta

Mount Merapi in Yogyakarta has a beautiful and fascinating face. Its clear springs, dense forest, fertile soil and gorgeous natural surroundings have supported the lives of tens of thousands of people at its foot. But it sometimes spreads fear and threatens the nearby community's life.

It is this other face which Merapi has been displaying that caused the government to declare an alert status early this month, following increasing volcanic activities. Brownish smoke, rumblings from the chamber and blazing lava are commonplace for those whose survival depends on the volcano's natural wealth.

The local community is part of the Merapi ecosystem, so as long as its behavior and attitude are in harmony with Merapi's natural environment, they will be safe and protected from volcanic danger. Despite the warnings, people who live on the slopes show no excessive panic and anxiety. On the other hand, central and regional authorities are overly panicky in facing the increasing activities of the volcano.

Various attempts have been made to evacuate locals, ranging from persuasion, to appeals from all ranks of government, including Yogyakarta Governor Sultan Hamengkubuwono X. Emergency tents have been set up with logistical support. The central government has even prepared a relief aid fund worth Rp 400 billion (US$ 44.9 million). But none of the tents and other accommodations are actually packed with evacuees.

These people prefer to remain in their homes to safeguard the assets of their livelihood such as cattle and property. Furthermore, there are neither signs from nature nor gestures from village elders and keepers of sacred places that there is an urgent need to take refuge.

There seems to be a difference between the approach and convictions of the public, and those of the government. The government considers the signs and readings detected by the Volcanic Technology Research and Investigation Center (BPPTK) very critical, so it calls for the immediate evacuation of the local people. The Merapi villagers rely on their experience, community wisdom and natural signs to determine whether it's necessary to move, though they still heed BPPTK's observations.

It is apparent that the government rigidly follows BPPTK's observation data and scarcely accommodates local wisdom, culture and belief. When Merapi erupted on Nov. 22, 1994, locals indeed counted on signs shown by nature to evacuate and seek refuge because the BPPTK sirens -- part of its early warning system -- did not work.

Likewise, it was local initiative that enabled them to take precautions before the explosion in February 2001.
In Javanese cosmology, Mt. Merapi is seen as the micro-cosmos and man is the macro-cosmos. The volcano constitutes the element of fire, which is inseparable from the elements of water (of the southern sea) and air (of the Yogyakarta palace), known as the Merapi-palace-Southern Sea axis. Man contains all the three elements so that in this case human beings are more perfect than the mountain. In Islam, man is khalifatullah or a leader because he is God's most perfect creation, with the obligation to wisely maintain and manage the Earth.

In the relationship between the local people and Mt. Merapi, one can see that man "submits" himself to the volcano, as shown by the taboos against gathering grass in places inhabited by spirits, moving rocks or other materials at will, hunting certain animals, burning forests, using offensive language and building houses that face Merapi in the north.

Though they sound like superstitions, these bans make sense. The prohibition on grass collection usually concerns places vulnerable to volcanic disasters and areas protected for crops or conservation. The ban on hunting is due to animals' instincts that can warn of volcanic activity. The ban against houses facing Merapi is meant to enable speedy evacuation to the south.

Merapi's eruption is in fact anticipated by the population nearby because volcanic ash will increase the soil fertility, and sand discharge will refill local rivers that have become devoid of sand over the last two years. Tourists will also be attracted to enjoy the volcano's distinctive charm in its very active state. But locals realize the imminent danger of its explosion. They know they have to be able to take early flight, based on their own long-time experience, wisdom and belief.

This culture and traditional wisdom constitute a valuable asset which is effective to mitigate the damage caused by Merapi's eruption and other disasters. Thanks to such knowledge, the natural environment of Merapi has been saved from destruction and the over-exploitation of resources. Yet the government considers all this an obstacle and a threat to its vision of an early evacuation.

The eruption cycle of Merapi is also well realized and accepted as part of the volcano's dynamic natural evolution. Those working in the sectors of forestry, agriculture, animal husbandry, mining and other areas have benefited from the existence of Merapi. When the mountain's activity intensifies, it is seen as a proper period of intermission for people to reduce its exploitation. The Javanese believe that this is the momentum for Merapi to restructure and rehabilitate itself, and for people to reflect on what they have done for its natural life.

As a natural phenomenon beyond human will and capacity, Merapi's eruption should be given a natural and yet cautious response. But the actual danger threatening society comes from man-made disasters, as the logical consequences of state and private policies that menace the sustainability of nature and community life.
The policy on the Merapi National Park, the commercialization of water in Umbul Wadon and other springs, and destructive sand quarrying are some examples. Such man-induced mishaps, unless promptly managed, will deprive people of their livelihoods, relocate them and gradually destroy Merapi's nature, which will be more agonizing than any eruption.

(The Jakarta Post, 29 April 2006)
The writer is a Mt. Merapi natural conservation activist residing in Kaliurang, Yogyakarta.

Wajah Ganda Gunung Merapi

Wajah Ganda Gunung Merapi

Oleh Mimin Dwi Hartono

Wajah Gunung Merapi memang sangat indah dan menawan untuk dipandang, gagah sekaligus anggun memesona. Gemericik air, hutan yang lebat, tanah yang subur, dan alam yang indah telah menghidupi puluhan ribu masyarakat yang ada di kakinya. Namun, juga kadang kala garang menantang dan terkesan mengancam kehidupan masyarakat.

Wajah kedua itulah yang saat ini diperlihatkan oleh Merapi kepada masyarakat sejak kenaikan status menjadi "Siaga" awal April 2006.

Upaya evakuasi warga sudah dilakukan dengan segala cara, dari bujuk rayu hingga imbauan pejabat pusat dan daerah, juga Sultan HB X. Tenda-tenda darurat pun sudah dipersiapkan berikut logistiknya. Bahkan, pemerintah pusat sudah menyiapkan dana bantuan bencana senilai Rp 400 miliar untuk Merapi. Namun, tidak ada satu pun tenda darurat maupun tempat penampungan yang terisi penuh oleh penduduk.

Warga tetap bersikukuh dengan pendiriannya untuk tetap bertahan di rumah masing-masing, dengan alasan untuk menjaga aset kehidupannya, baik ternak, harta benda, dan sebagainya. Maupun keyakinan bahwa belum ada tanda-tanda dari alam maupun isyarat dari sesepuh desa dan juru kunci bahwa warga perlu mengungsi.

Terlihat ada gap dan perbedaan antara sikap dan keyakinan masyarakat dengan pemerintah. Pemerintah menganggap tanda-tanda yang ditangkap dengan teknologi modern oleh BPPTK (Balai Penyelidikan dan Penelitian Teknologi Kegunungapian) adalah sudah sangat genting sehingga masyarakat harus segera dievakuasi.

Di sisi lainnya, masyarakat berpegang pada pengalaman, kearifan masyarakat, dan tanda-tanda alam tentang perlu tidaknya mengungsi, walaupun data pengamatan dari BPPTK pun tetap mereka perhatikan. Kelihatan bahwa pemerintah secara kaku berpegang pada data pengamatan dari BPPTK dan sangat kurang mengakomodasi kearifan lokal, kultur, dan keyakinan masyarakat setempat.

Dalam peristiwa letusan Gunung Merapi 22 November 1994, masyarakat memang mengandalkan tanda-tanda dari alam untuk mengungsi dan menyelamatkan diri karena waktu itu bisa dikatakan peralatan peringatan dini milik BPPTK tidak berfungsi, misalnya sirine yang seharusnya berbunyi sebagai tanda peringatan bagi warga. Demikian pula pada letusan Februari 2001, inisiatif wargalah yang membuat warga waspada.

Dalam kosmologi Jawa, Gunung Merapi dipandang sebagai mikrokosmos dan manusia adalah makrokosmos. Gunung Merapi hanya terdiri atas unsur api, yang tidak bisa dipisahkan dengan unsur air (Pantai Selatan), dan unsur udara (Keraton Yogyakarta), dikenal sebagai poros Merapi-Keraton-Laut Selatan. Unsur air, api, dan udara ada pada diri manusia, sehingga dalam hal ini manusia lebih sempurna daripada Gunung Merapi.

Namun, dalam hal hubungan antara masyarakat setempat dan Gunung Merapi, terlihat dari pola kehidupan masyarakat bahwa manusia "tunduk" pada Gunung Merapi. Hal ini terlihat pada sikap dan tindakan masyarakat yang tidak merumput di wilayah yang angker, tidak memindahkan batu atau material sembarangan, tidak berburu binatang tertentu, pantang untuk membakar hutan, pantang untuk berbicara sembarangan di Merapi, maupun tidak membangun rumah menghadap ke Merapi.

Walaupun terkesan sebagai mitos, namun pola tersebut sangat rasional. Misalnya, tidak merumput di wilayah angker karena biasanya daerah tersebut rawan terhadap bencana Merapi maupun sebagai wilayah lindung yang memang khusus untuk tanaman keras atau konservasi. Kebiasaan tidak berburu binatang karena binatang bisa dipakai sebagai tanda-tanda akan aktivitas Gunung Merapi. Rumah tidak menghadap Merapi supaya ketika Merapi meletus penghuni bisa langsung evakuasi secara cepat ke arah selatan, misalnya untuk masyarakat di wilayah Sleman.




Aset kultur


Kultur maupun kearifan tradisional masyarakat tersebut adalah sebuah aset yang berharga karena terbukti mampu untuk memitigasi bencana alam Merapi maupun bencana lainnya. Berkat itulah, maka lingkungan alam Merapi tetap lestari dan terhindar dari perusakan serta overeksploitasi sumber daya alam oleh sebagian pihak. Namun, ternyata pemerintah memandangnya secara lain dan menganggap kultur dan kearifan tersebut sebagai penghambat dan ancaman bagi upaya- upaya penyelamatan dini versi pemerintah.

Siklus letusan Merapi sangat disadari dan diterima dengan legawa oleh masyarakat sebagai bagian evolusi alam Gunung Merapi yang dinamis. Manfaat keberadaan Merapi sudah dirasakan masyarakat, baik yang hidup dari sektor kehutanan, pertanian, peternakan, pertambangan, wisata dan sebagainya.

Maka, yang harus dilakukan oleh semua pihak, khususnya pemerintah, adalah mengakomodasi sikap, kultur, dan kearifan yang dimiliki masyarakat sebagai bagian integral dalam siklus manajemen bencana yang berkelanjutan.

Hal tersebut harus dibarengi dengan upaya komunikasi dan membangun kesepahaman tentang makna dari bahaya Merapi yang dimengerti semua pihak, khususnya masyarakat dan pemerintah. Manajemen bencana harus dipandang sebagai sebuah proses yang berkelanjutan, bahkan dalam keadaan aman sekalipun. Letusan Merapi adalah fenomena alam di luar kehendak dan kemampuan manusia, sehingga harus disikapi dengan wajar, namun penuh kewaspadaan.

Bahaya yang sebenarnya bagi masyarakat adalah bencana buatan manusia, baik oleh kebijakan negara maupun oleh institusi di luar negara yang mengancam alam dan penghidupan masyarakat. Kebijakan Taman Nasional Gunung Merapi, komersialisasi air di Umbul Wadon dan mata air lainnya, penambangan pasir yang merusak, adalah contohnya.

(Kompas, 26 April 2006)
Mimin Dwi Hartono Aktivis Pelestarian Alam Gunung Merapi, Tinggal di Yogyakarta

Thursday, October 05, 2006

X-oerang dulu dan kini

Kaliurang. Sebuah kawasan wisata alam yang terletak di lereng selatan Gunung Merapi. Disanalah pada hari Kamis Pon, 24 Maret 1977, saya dilahirkan.
Kaliurang adalah kawasan yang bersejarah dan memberikan sumbangan bagi kemerdekaan republik. Disinilah pada tahun 1948 dilaksanakan Konferensi Tiga Negara, sebagai penegasan kedaulatan republik. Disini pula Bung Karno dan Bung Hatta pernah bermukim untuk sementara untuk berkonsolidasi bagi republik.
Kaliurang menurut para sesepuh didirikan oleh bangsawan Belanda sebagai tempat peristirahatan noni-noni londo. Juga oleh bangsawan Kraton Yogyakarta, sebagai tempat petirahan atau peristirahatan raja, permaisuri, dan putra-putri kraton.
Kaliurang sejak tahun 1970-an dikembangkan sebagai kawasan wisata alam. Kaliurang yang masyarakatnya dulu berprofesi sebagai peternak sapi perah dan pertanian, beralih secara masif menjadi pengusaha hotel/penginapan/rumah makan. Namun kedatangan modal tidak bisa dielakkan sehingga muncul hotel dan wisma-wisma skala besar yang dimiliki oleh investor luar. Masyarakat lokal pun mulai terpinggirkan. Kawasan seluas 250 hektar ini penuh oleh hotel dan wisma yang sampai pertengahan tahun 2006 berjumlah sekitar 260 buah. Kaliurang yang dulunya sejuk berubah menjadi kawasan yang crowded dan tidak nyaman lagi, penuh oleh hutan beton.
Kaliurang adalah kawasan resapan dan penyangga kehidupan bagi masyarakat Yogyakarta. Namun fungsi ini kalah oleh kepentingan ekonomi. Kawasan hijau berubah menjadi bangunan hotel, hutan dikonversi menjadi kawasan permukiman, dan seterusnya.
Kaliurang adalah titik kecil dari fenomena yang terjadi di Yogyakarta, dan bahkan Indonesia. Dimana kultur dan ekonomi lokal tergerus secara sistematis dan meluas oleh laju kapitalisasi pembangunan yang menempatkan uang sebagai indikator pembangunan. Dalam hal ini benteng terakhir adalah pada masyarakatnya, khususnya kaum muda. Tidak heran jika masa depan suatu bangsa adalah tercermin pada kaum mudanya. Maka nasib bangsa dan Kaliurang adalah terletak pada sikap dan kepedulian kaum muda, tiada yang lain..

Eagle Flies Alone


Elang

Sungguh, saya sangat memfavoritkan burung perkasa ini. Bukan karena posturnya yang gagah, sorot matanya yang tajam, kakinya yang kekar, cakarnya yang kuat mencengkeram, namun spirit kehidupan yang melekat padanya. Saya harus belajar banyak padanya.
Tidak heran jika para founding fathers negeri ini pun menjadikan elang sebagai lambang negara, Pancasila. Tentunya ada maksud dan keinginan yang kuat dan luhur, mengapa lambang negara adalah burung elang. Mengapa bukan banteng, badak, komodo, harimau, dan sebagainya…?
Elang adalah burung perkasa sehingga ditakuti oleh spesies burung lainnya. Meskipun ditakuti, elang tidak pernah berbuat semena-mena pada pihak lain. Ia hanya akan mempergunakan kelebihannya untuk mempertahankan diri jika ada yang berusaha menganggu kepentingannya.
Elang dikenal sebagai burung yang sangat penyayang dan bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya. Ia akan menjaga dan membesarkan anaknya sampai sang anak mampu untuk hidup secara mandiri. Siang dan malam ia akan dengan setia menjaga sang anak dari bahaya yang setiap saat mengancam. Sang anak pun ketika tumbuh menjadi besar akan berbuat demikian pula. Begitu seterusnya dan selanjutnya.
Sangat pantas bila elang menjadi inspirator para founding fathers negeri ini. Namun ada yang lain lagi.
Elang adalah burung pemangsa dan berperan sangat penting dalam siklus ekosistem kehidupan. Burung ini juga menjadi indikator penting atas kondisi ekosistem kehidupan.
Elang adalah burung yang sangat sensitif dan tajam penglihatannya. Tidak heran jika sangat susah untuk bisa berdiri didekatnya, kecuali bagi mereka yang sudah tahu caranya. Sorot mata tajam Elang adalah sebuah simbol kewaspadaan terhadap lingkungan sekitarnya.
Elang hanya bertelur sekali dalam setahun. Itu pun dengan resiko kegagalan yang sangat tinggi, karena rusaknya ekosistem alam oleh ulah manusia. Tidak heran jika elang menjadi species yang sangat langka dan hampir punah.
Yah, spirit elang inilah yang berusaha saya integrasikan dalam setiap langkah kehidupan yang saya pilih.